160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

PERLU PERUBAHAN PENGELOLAAN ASET SUMBER DAYA ALAM YANG KONSTITUSIONAL

750 x 100 PASANG IKLAN

Oleh: Dr. Kurtubi

KITA bangga menjadi bangsa Indonesia karena Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia di mana pengelolaan aset Sumber Daya Alam (SDA) energi dan minerba diatur di dalam konstitusi. Harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan di negara lain diatur setingkat UU.

Sehingga UU sebagai implementasi konstitusi tidak boleh bertentangan dengan bunyi konstitusi UUD 1945 Pasal 33.

Tetapi kita juga mengetahui dari sejarah bangsa kita sendiri bahwa di periode awal pascakemerdekaan. Pasal 33 UUD 1945 belum bisa diterapkan.

750 x 100 PASANG IKLAN

Sehingga pengelolaan SDA energi dan minerba masih melanjutkan sistim zaman penjajahan yang menggunakan Sistim Konsesi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial.

Sistim zaman kolonial ini pasti tidak sejalan dengan ketentuan pengelolaan menurut Konstitusi UUD 1945 yang harus dikuasai negara untuk dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Di masa perang kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa para pejuang kemerdekaan mengambil alih semua kegiatan pertambangan, khususnya migas dari tangan penjajah. Mereka mendirikan perusahaan-perusahaan migas lokal di daerah-daerah penghasil migas.

Di kala itu, pihak yang mempunyai organisasi yang rapi dan disiplin adalah militer. Sehingga pemerintah menugaskan seorang militer Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengkoordinir perusahaan-perusahaan migas yang ada di semua daerah.

750 x 100 PASANG IKLAN

Hasilnya lahir dua perusahaan migas baru, yaitu Permina dan Pertamin sebagai hasil penggabungan dari semua perusahaan migas yang direbut dari penjajah.

Oleh anggota DPR yang berasal dari Aceh bernama Tengku Muhammad Hasan, diusulkan kepada Pemerintahan Zaken Kabinet di bawah PM Djuanda Kartawidjaja, agar menerapkan Pasal 33 UUD 1945 di dalam pengelolaan migas nasional.

PM Djuanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPPU) mencabut pemberlakuan UU Pertambangan zaman penjajahan (Indische Mijnwet). Kemudian diterima oleh DPR, sekaligus melahirkan UU Migas No. 44/Prp/1960 yang mengharuskan sektor migas dikelola oleh Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk dengan UU.

Barulah sekitar 10 tahun kemudian keluar UU Pertamina No.8/1971 yang melahirkan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) sebagai pengelola migas nasional dengan menggunakan Sistim Kontrak Bagi Hasil (” B to B”) antara Pertamina dengan semua investor migas.

Pertamina didesain sebagai perusahaan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir berskala besar di bawah satu bendera. Sehingga memenuhi kriteria sebagai perusahaan natural monopoly yang merupakan struktur perusahaan yang paling efisien.

750 x 100 PASANG IKLAN

Pertamina sebagai Perusahaan Negara  Pemegan Kuasa Pertambangan (PNPKP)

UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971 menggunakan prinsip mempermudah semua investasi migas, baik investor dalam negeri maupun investor asing. Karena investor menggunakan modal/dana sepenuhnya dari mereka sendiri dan menanggung sendiri risikonya. Diberlakukan prinsip Lex Spesialis, tidak mengikuti UU Perpajakan. Investor tidak boleh dipungut pajak dan pungutan sebelum berproduksi

Semua perizinan yang dibutuhkan oleh investor diurus oleh Pertamina sebagai PNPKP dan sekaligus sebagai penanda tangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dengan semua investor migas.

Kuasa Pertambangan (KP) adalah bentuk intengible asset (aset tidak berwujud) yang dihargai/diakui oleh Lembaga Keuangan International. Sehingga Pertamina memperoleh kemudahan pendanaan dalam program hilirisasi migas dalam pembangunan kilang LNG di Arun Aceh dan di Badak Kaltim.

Produk LNG-nya berhasil dijual ke Jepang dan Korea dengan harga Jual yang saling menguntungkan dengan semua pembeli.

Berbeda dengan penjualan LNG dari Papua yang pembangunannya dilakukan oleh Menteri ESDM sebagai pemegang Kuasa Pertambangan yang diambil alih dari Pertamina. Kemudian oleh Menteri ESDM diberikan/diserahkan kepada British Petroleum.

Sedangkan cadangan gas besar di Masela Maluku, oleh Menteri ESDM/pemerintah diserahkan ke Inpex dari Jepang.

Kebijakan pemerintah yang mengambil alih Kuasa Pertambangan dari Pertamina. Kemudian terbukti sangat merugikan negara, karena LNG Papua dijual ke Fujian dengan harga yang sangat murah, padahal ketika itu gas sangat dibutuhkan di dalam negeri. Baik oleh PLN atau oleh industri dan pabrik pupuk.

Contoh Penerapan Konstitusi Pasal 33 di Bidang SDA

Implementasi  UUD 1945 Pasal 33 dengan menggunakan UU Migas l No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina  No.8/1971 terbukti secara empirik telah berhasil membawa sektor migas nasional menjadi sumber utama penerimaan APBN dan penerimaan devisa hasil ekspor.

Pertumbuhan ekonomi tertinggi mencapai level 9,8 persen saat produksi dan harga migas dunia naik tinggi ketika terjadi perang Arab Israel dan revolusi di Iran. Serta SDA Migas dikelola sesuai konstitusi menggunakan Sistim Kontrak Bagi Hasil yang memastikan bagian negara harus lebih besar dari perolehan keuntungan investor setelah cost recovery.

Saat ini pertambangan SDA migas dan minerba tidak menggunakan sistim yang sesuai dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945.  Masih menggunakan sistim konsesi zaman penjajahan.

Konsesinya diberikan oleh pemerintah kepada investor secara “G to B”. Di mana pemerintah sebenarnya tidak eligible (tidak memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan usaha dan bisnis pertambangan secara langsung. Sehingga harus menunjuk perusahaan/pihak ketiga. Sistim ini sangat merugikan negara.

Dengan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), maupun Konsesi di mana pemerintah menandatangani Kontrak Karya ( B to G) dengan investor.

Terbuka peluang lebar bagi oknum pemerintah yang korup, mulai dari bupati, gubernur, dirjen, dan seterusnya. Memanfaatkan wewenangnya mengeluarkan Izin Konsesi untuk memperoleh “imbalan” dari penambang/investor yang memperoleh IUP atau Kontrak Karya dari pemerintah.

Cara pengelolaan pertambangan seperti ini di mana wewenang memberi konsesi ada di tangan pemerintah. Merupakan copy paste dari sistem pengelolaan zaman penjajahan.

Dilanggengkan oleh UU Minerba No.4/2005 dan UU Minerba yang terbaru No.3/2020.

Sedangkan di  sektor migas hingga saat ini menggunakan UU Migas No.22/2001 yang mencabut dua UU, yaitu UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971.

Dicabutnya kedua UU ini, secara empirik menjadi penyebab anjloknya produksi migas selama dua dekade. Indonesia harus keluar dari OPEC, Indonesia harus mengimpor migas dari luar negeri dalam jumlah besar

PT Pertamina Persero yang ada saat ini dibentuk tidak dengan UU, ditempatkan di bawah Menteri BUMN. Oleh Menteri BUMN, organisasi Pertamina diubah menjadi Perusahaan Migas Unbundling. Terpecah antara kegiatan hulu dan hilir. Dipecah-pecah menjadi banyak anak perusahaan kecil-kecil yang mencari keuntungan (profit miximizer) sendiri-sendiri. Padahal produk akhir yang dihasilkan dan dibutuhkan oleh rakyat dan dunia usaha adalah BBM. Akibatnya biaya pokok BBM menjadi jauh lebih mahal.

Terlebih oleh oknum yang korup, model Unbundling ini dipakai sebagai arena untuk memperoleh keuntungan pribadi atau pihak lain.

Fakta di atas menyimpulkan bahwa semua UU yang mengatur pengelolaan sumber daya energi dan pertambangan harus diubah dan disesuikan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Menggunakan Sistim Kontrak Bagi Hasil yang memastikan bagian negara/APBN memperoleh 65 persen dan investor memperoleh 35 persen setelah cost recovery.

Daerah Penghasil SDA, berhak memperoleh bagian dari kegiatan usaha SDA yang ada di daerahnya.

Apabila harga produk SDA di pasar dunia naik significant sehingga timbul windfall profit di industri SDA dunia. Presiden RI yang berdaulat berhak mengadopsi windfall profit dengan menaikkan bagian negara/APBN naik menjadi 85 persen dan investor memperoleh 15 persen setelah cost recovery.

Daerah penghasil SDA berhak memperoleh manfaat dari kehadiran investasi dan kegiatan penambangan SDA di wilayahnya. Berupa participating interest sebesar 10 persen yang diwakili oleh BUMD.

Seyogyanya NasDem sebagai partai yang mengusung Gerakan Perubahan/Restorasi, sangatlah tepat untuk penjadi pelopor dalam melakukan perubahan/restorasi dalam pengelolaan sumber daya energi migas dan minerba. Menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen hingga double digit. Tanpa memberatkan rakyat dalam membayar berbagai macam dan bentuk pajak.

Justru, apabila pengelolaan aset SDA sudah disesuaikan dengan konstitusi yang pasti akan melipatgandakan penerimaan negara, maka saatnya tiba bagi UMKM dibebaskan dari pajak agar kegiatan ekonomi di pedesaan bisa lebih bergairah dan lebih maju. (Dr. Kurtubi adalah Ketua Kaukus Nuklir Parlemen Fraksi NasDem 2014. — 2019. Alumnus SMAN Mataram, FEUI, IFP Dan CSM. Mantan Pengajar Ekonomi Energi Pasca Sarjana FEUI dan  Mantan Pengajar Ekonomi Energi di Universitas Paramadina)

 

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
ANINDYA

Tutup Yuk, Subscribe !