
Oleh: Dr. Kurtubi
AGAR Presiden Probowo Subianto tidak jatuh di tengah jalan seperti yang dikuatirkan berbagai pihak, saya menyarankan beliau seyogyanya berupaya menaikkan penerimaan negara yang berasal dari pengelolaan aset/harta negara Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan SDA harus dikuasai oleh negara untuk dikelola bagi sebesar-besarnya Kemakmuran rakyat.
Tanpa harus membebani rakyat dengan berbagai macam bentuk pajak dan pungutan baru yang aneh-aneh dan memberatkan rakyat. Seperti menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), memajaki ojek online, dan mengambil alih tanah rakyat yang belum dimanfaatkan, dan lain-lain.
Presiden berhak menaikkan penerimaan negara dari pengelolaan aset SDA dengan cara yang rasional dan konstitusional, yaitu mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Karena hingga kini masih menerapkan sistem konsesi “G to B”, di mana pihak yang berwenang mengeluarkan konsesi adalah Menteri ESDM/pemerintah.
Padahal sebenarnya pemerintah tidak eligible, tidak memenuhi syarat. Karena pemerintah tidak bisa melakukan kegiatan penambangan dan bisnis secara langsung. Pemerintah hanya bisa menunjuk orang atau pihak ketiga. Prakek seperti ini merupakan copy paste zaman Kolonial, di mana Pemerintah Belanda yang memberikan konsesi ke investor. Baik dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau dengan menandatangani Kontrak Karya.
Impelementasi Pasal 33 UUD 45 dalam Pengelolaan Aset SDA
Sebenarnya sudah dicontohkan di sektor migas bagaimana cara menerapkan konstitusi Pasal 33 UUD ’45 yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yaitu, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 44/Prp/1960 tentang Migas dan Undang-Undang Pertamina Nomor 8 Tahun 1971.
Dengan menerapkan sistem Kontrak Bagi Hasil “B to B” antara Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan (PNPKP) yang dibentuk dengan UU, berkontrak dengan semua investor migas.
Sistem Kontrak Bagi Hasil memastikan bahwa penerimaan negara dari penambangan aset SDA harus lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang/investor. Negara memperoleh 65 persen dan investor memperoleh keuntungan 35 persen setelah cost recovery.
Apabila terjadi windfall profit karena kenaikan harga komoditas SDA di pasar dunia, Presiden RI berhak mengadopsi windfall profit dengan menaikkan bagian negara dalam Kontrak Bagi Hasil menjadi 85 persen dan investor memperoleh 15 persen.
Dengan sistim Kontrak Bagi Hasil, investor harus dipermudah, tidak boleh dibebani pajak dan royalti ketika masih pada tahap eksplorasi, belum berproduksi.