
Ketika ditargetkan menyerap 3 juta ton setara beras, eksperimentasi baru ini membuat Bulog sebagai operator kedodoran. Itu tampak pada awal-awal penyerapan. Saat ini Bulog memiliki 10 sentra pengolahan padi dan 7 sentra pengolahan beras di berbagai wilayah. Dengan kapasitas giling 6 ton per jam dan asumsi kerja 10 jam sehari dan 25 hari per bulan total produksi hanya 18 ribu ton beras per bulan atau 306 ribu ton per tahun. Hanya sekitar 10% dari target pengadaan atau 1% dari konsumsi nasional.
Mau tidak mau Bulog harus menjalin dengan mitra penggilingan untuk menyerap gabah di petani. Termasuk melibatkan Babinsa dan Babinkamtibmas di desa-desa sebagai “penghubung” Bulog dengan petani. Lewat sistem maklon atau jual jasa para mitra, target bisa dipenuhi. Tercatat akhir Agustus 2025 pengadaan mencapai 2.974.453 ton beras. Sistem maklon memang memungkinkan para mitra tetap bisa bekerja dan menyetor beras ke Bulog meski harga gabah di atas HPP: Rp6.500 per kg. Caranya, dengan “otak-atik” angka rendemen mitra maklon tetap lancar menyerap gabah dan menyetor beras ke Bulog.
Akan tetapi, dampak dari praktik ini adalah rendemen pengolahan tidak pasti alias rendah. Data per 20 September 2025, rerata rendemen hanya 50,8%. Ujungnya, harga beras pengadaan Buloh jadi mahal: Rp14.404 per kg. Harga ini belum memperhitungkan hasil samping: dedak, bekatul, dan menir. Kalaupun dihitung, harga beras diperkirakan Rp14.104 – Rp14.154 per kg. Lebih mahal dari HPP beras di gudang Bulog: Rp12.000 per kg.
Harga beras hasil pengadaan ini akan memengaruhi harga pokok beras (HPB) Bulog yang harus dibayar pemerintah. Hampir bisa dipastikan HPB Bulog akan amat mahal. HPB antara lain mencakup biaya pengolahan dan giling gabah, biaya angkutan dan distribusi, biaya bunga bank, biaya penyimpanan dan perawatan, serta biaya manajemen dan operasional. HPB dari penyerapan gabah semua kualitas dipastikan lebih mahal dari pengadaan berbentuk beras atau GKP bersyarat kualitas dan ada rafaksi harga.
Seperti di bidang lain, di industri perberasan pun berlaku kaidah Garbage In, Garbage Out (GIGO): kualitas masukan menentukan kualitas keluaran. Gabah kualitas rendah akan menghasilkan beras bermutu rendah juga. Beras seperti ini tidak bisa disimpan lama. Dengan stok beras di gudang Bulog 3,9 juta ton, ada kebutuhan mendesak segera disalurkan. Jika disimpan lama selain berpotensi susut volume, turun mutu, dan bahkan rusak, juga membebani biaya perawatan. Jika rusak kerugiannya kian besar.
Dampak lain, yang boleh jadi tidak terpikirkan para pembuat kebijakan, adalah potensi penurunan produksi beras. Kualitas beras ditentukan kualitas gabah. Gabah any quality membuat ketidakpastian rendemen dan kualitas beras. Bisa dipastikan gabah any quality membuat rendemen dan kualitas beras turun. Ujung akhirnya produksi beras turun. Potensi penurunan ini belum masuk kalkulasi proyeksi produksi BPS.
Penyerapan GKP semua kualitas juga mempertaruhkan reputasi Bulog. Ini terkait kualitas beras yang tidak baik sebagai konsekuensi penyerapan GKP semua kualitas. Dua tahun terakhir, reputasi Bulog di masyarakat relatif baik. Bukan saja karena kehadiran aneka merek beras premium, tapi juga beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang bermutu baik. Reputasi baik ini berpotensi kembali tersungkur.
Adalah benar petani diuntungkan oleh kebijakan GKP semua kualitas dan tanpa rafaksi harga. Penggilingan kecil yang kesulitan berkompetisi mendapatkan gabah juga bisa bekerja dengan jadi mitra maklon Bulog. Akan tetapi, jika ditimbang dalam neraca baik-buruk, kebijakan ini diyakini lebih banyak keburukan ketimbang kebaikannya. Sebaiknya pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh sebelum melanjutkan beleid ini.
Satu yang pasti, kebijakan penyerapan GKP semua kualitas menyalahi sunnatullah. Di mana-mana berlaku kaidah “barang dihargai berdasarkan kualitas”. Bukan dipukul rata harganya sama untuk semua kualitas. Itu tidak adil dan tidak mendidik. Selain itu, dari kebijakan ini juga terbaca betapa infrastruktur pengeringan gabah terbatas. Demikian pula silo. Perlu pemetaan wilayah berdasarkan protensi produksi gabah/beras dikaitkan dengan ketersediaan dryer, silo, dan penggilingan. Dari sini peta jalan perbaikan bisa disusun kemudian dieksekusi sembari menyempurnakan kebijakan. (Khudori adalah Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, dan Pegiat AEPI)