
Oleh: Khudori
KEBIJAKAN penyerapan gabah semua kualitas (any quality), seperti yang diperkirakan, membuat kualitas gabah serapan Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak baik. Per 20 September 2025, total pengadaan gabah kering panen (GKP) oleh Bulog mencapai 4.238.262 ton. Dari jumlah ini, yang sesuai standar kualitas mencapai 1.460.974 ton (34,47%) dan yang tidak memenuhi kualitas sebesar 2.777.288 ton (65,53%) dari total penyerapan GKP.
GKP dikatagorikan tidak memenuhi kualitas apabila maksimal kadar air dan butir hampa masing-masing lebih dari 25% dan 10%. Rupanya, gabah yang diserap ada yang kadar airnya sekitar 19,36%, tapi ada yang sampai 33,63%. Demikian pula kadar hampa bergerak dari 2,63% hingga 18,32%. Butir hijau antara 1,01% hingga 11,88%. Angka-angka ini menggambarkan secara jelas variasi kualitas gabah: GKP tidak homogen.
Gabah dengan kadar air, butir hampa, dan butir hijau rendah berbeda penanganannya dengan gabah yang berkadar air, butir hampa, dan butir hijau tinggi. Gabah dengan kadar air tinggi perlu segera dikeringkan agar tidak membusuk dan berkecambah. Gabah dengan kadar air tinggi juga memerlukan waktu pengeringan lebih lama. Penanganan bahan baku beras ini akan lebih mudah dilakukan apabila kualitasnya relatif homogen.
Bisa dibayangkan betapa rumit dan sulitnya menangani kualitas gabah yang tidak homogen dalam jumlah jumbo. Bukan semata-mata karena jumlahnya yang besar, ketika jumlah dan kapasitas pengering (dryer) terbatas, gabah kualitas rendah yang memerlukan penanganan segera bisa saja telantar. Jika itu terjadi, kualitas gabah yang rendah akan kian memburuk. Ketika diolah, beras hasil olahan pasti tidak baik.
Itulah salah satu ongkos yang harus ditanggung akibat kebijakan penyerapan GKP semua kualitas, seperti diatur di Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 14 Tahun 2025 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras pada 24 Januari 2025 dan Inpres No. 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah, 27 Maret 2025.
Kebijakan penyerapan GKP semua kualitas terbilang eksperimen berani, bahkan nekat. Mengapa? Karena belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak Bulog berdiri 1967, penyerapan gabah/beras selalu diikuti syarat kualitas. Misalnya, dalam buku “Tata Cara Teknis Pemeriksaan Kualitas Gabah/Beras Pengadaan Dalam Negeri” (Bulog, 1983) ditulis gabah harus: bebas hama penyakit; bau busuk, asam atau bau-bau asing lainnya; dan dari tanda-tanda adanya bahan kimia berbahaya (baik secara visual atau organoleptik).
Lalu, maksimal kadar air 14%, butir hampa/kotoran 3%, butir mengapur/butir hijau 5%, butir kuning/butir rusak 3%, dan butir merah 3%. Pembelian gabah dengan kualitas di bawah standar ini harus seizin Kepala Bulog (saat ini: Direktur Utama Bulog). Catatan penting lainnya adalah, pengadaan gabah berupa gabah kering giling (GKG), bukan GKP seperti diatur Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025 dan Inpres No. 6 Tahun 2025.
Dalam buku yang sama, syarat kualitas beras yang diserap Bulog adalah maksimal kadar air 14%, butir patah 35%, menir 2%, butir mengapur 3%, butir kuning/rusak 3%, butir merah 3%, benda asing 0,05%, dan butir gabah (butir/100 gr) 2% serta minimal derajat sosoh 90%. Syarat ini berbeda dengan yang tercantum dalam Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025: derajat sosoh minimal 100%, maksimal kadar air, butir patah, dan butir menir masing-masing 14%, 25%, dan 2%. HPP beras 2025 di gudang Bulog Rp12.000 per kg.
Lazimnya sesuatu yang baru, pada tahap awal dilakukan uji coba terbatas. Dari uji terbatas itu akan diketahui peluang apabila kemudian diterapkan lebih luas, bahkan bila hendak dieksekusi secara nasional. Bukan saja dampak positif yang terjadi dan perbaikan yang perlu dilakukan, tapi juga konstrain yang bakal muncul berikut dampak buruknya. Ketika dieksekusi secara nasional tanpa uji coba, yang terjadi kemudian adalah ekosistem perberasan terguncang (baca: terdisrupsi) secara besar-besaran.
Di level pelaku usaha di hulu terbuka lebar peluang berperilaku lancung. Lewat berbagai kebijakan, pemerintah selalu mendorong petani berproduksi dengan baik agar hasil produksi baik dan mendapatkan ganjaran harga yang baik juga. Sebagian penggilingan juga membina dan mendampingi petani ihwal bercocok tanam, olah tanah, dan panen padi yang baik. Ketika penyerapan gabah Bulog tidak lagi ada syarat kualitas, aneka kebijakan dan pendampingan cara berproduksi yang baik terguncang.
Ada cerita unik terkait ini. Sebuah penggilingan besar telah menjalin kemitraan dengan petani. Petani mendapatkan bantuan benih, pupuk, dan pendampingan agronomis. Petani membayar dengan mencicil dari hasil panen. Pembelian gabah petani sesuai harga pasar. Tentu ada syarat kualitas ketat. Rupanya, sebagian petani “selingkuh” alias “pindah ke lain hati” sejak ada kebijakan penyerapan GKP semua kualitas. Petani bengkok komitmennya karena peluang berperilaku lancung terbuka lebar.
Inilah yang bisa menjelaskan mengapa pada puncak penyerapan, Maret-Mei 2025, ada gabah “aneh-aneh” yang diterima Bulog: gabah kehitaman, gabah banyak butir hijau, gabah berkadar air tinggi, bahkan gabah berkecambah. Bulog tak kuasa menolak. Kalau tidak menyerap, Bulog bisa menjadi sasaran hujatan dan perundungan. Perilaku culas ini tidak monopoli petani. Calo, pengepul atau penebas bisa melakukan hal serupa. Muncul praktik: gabah buruk buat Bulog, gabah baik untuk penggilingan (swasta).
Laku moral hazard petani dan pihak lain akibat kebijakan pengadaan gabah tanpa memperhatikan kualitas ini bisa berdampak mengganggu keberlanjutan swasembada beras. Petani, misalnya, akan cenderung memanen padi dini, sehingga gabah banyak mengandung butir hijau. Butir hijau bila digiling akan menjadi butir mengapur atau hancur jadi tepung. Ini bisa mengancam kontinuitas swasembada beras.