Oleh: Dr. Kurtubi
Hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) harus tetap waspada sepanjang negara ini belum mencabut klaimnya atas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di kawasan Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Kita ketahui bahwa wilayah ZEE Indonesia ini sudah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai milik Indonesia berdasarkan Hukum Laut International, United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982. Namun, RRT mengklaim wilayah yang kaya dengan cadangan gas ini sebagai miliknya, dengan menggunakan dalil “Nine Dash Line”. Meskipun hingga kini tidak diakui oleh PBB.
Bersahabat dan kerja sama dengan RRT tidak ada masalah, asalkan: RRT harus mencabut secara resmi klaimnya ini. Sebab, cadangan gas yang sangat besar di Natuna hingga saat ini oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM, dibiarkan tidak dikembangkan sesusi amanah konstitusi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena memang Kementerian ESDM meskipun menurut UU Migas No.22 Tahun 2001 merupakan pihak yang berwenang untuk mengembangkan cadangan gas yang ditemukan oleh investor migas di sisi hulu.
Karena Menteri ESDM tidak eligible melakukan kegiatan usaha penambangan secara langsung, maka Menteri ESDM harus menunjuk perusahaan/pihak ketiga. Pola ini seperti ketika pengelolaan sumber daya pertambangan yang ada di dalam bumi negara kita ketika masih dijajah Belanda dengan menggunakan Indische Mijnwet yang menerapkan sistem Konsesi, di mana Pemerintah Kolonial yang mengeluarkan Konsesi dengan menerbitkan Izi Usaha Pertambangan (IUP) dan menandatangani Kontrak Karya dengan pihak investor.
Sehingga pengelolaan migas, pertambangan batubara dan mineral, termasuk emas hingga saat ini masih menggunakan tata kelola zaman kolonial yang harus menunjuk pihak ketiga dengan menerbitkan IUP dan Kontrak Karya.
Akibatnya, cadangan gas yang sangat besar di Natuna Utara dibiarkan mubazir hingga saat ini. Akibat kewenangan mengelola migas dengan UU Migas No.22 Tahun 2001 dipindahkan dari Pertamina ke Menteri ESDM yang tidak bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan dan bisnis secara langsung.
Sementara RRT secara terus menerus melakukan pelanggaran wilayah teritorial perairan RI. RRT dengan sengaja melakukan Patroli Bersenjata masuk perairan RI dengan alasan melindungi nelayannya yang mencari/mencuri ikan di perairan Indonesia.
Diplomasi Cabut Klaim RRT terhadap Natuna
Sebaiknya diplomasi RI ke RRT ditujukan untuk meminta RRT mencabut secara resmi klaimnya atas wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara. Sehingga, semestinya Indonesia bisa segera mengembangkan cadangan gas di Natuna Utara sebelum Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Xi Jing Ping.
Dengan cara mestinya terlebih dahulu Pemerintah Indonesia mencabut UU Migas No. 22 Tahun 2001 dengan Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden. Karena UU Migas ini sudah terbukti inkonstitusional, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) ketika diketuai oleh Mahfud MD tahun 2012. Ketika itu MK mencabut belasan pasal lewat Putusan MK No.36/PUU–X/2012, termasuk membubarkan BP Migas. Kemudian, ternyata oleh Presiden SBY diputuskan untuk mengeluarkan Perpres melabrak Keputusan MK yang bersifat final and binding dengan menghidupkan kembali BP Migas dengan mengganti nama menjadi SKK Migas.
Status SKK Migas tersebut, tetap sebagai Badan Hukum Milik Negara ( BHMN) yang tidak eligible untuk melakukan kegiatsn usahs bisnis migas secara langsung, tidak bisa melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi migas secara langsung, serta tidak bisa melakukan kegiatan jual beli migas secara langsung, sehingga harus menunjuk pihak ketiga.
Sejarah migas mencatat, oknum ketua lembaga negara yang melanggar konstitusi ini, baik BP Migas maupun SKK Migas, terbukti bersalah telah melakukan kegiatan bisnis/usaha mengolah minyak mentah/kondensat bagian negara dari kontraktor/investor “dititip olah” di kilang swasta. Kemudian pengadilan memutuskan yang bersangkutan bersalah dan masuk penjara.
Sementara oknum Ketua SKK Migas terbukti bersalah menjual minyak mentah bagian negara yang berasal dari kontraktor/investor dengan menunjuk pihak ketiga di Singapura. Eks Kepala SKK Migas ini juga masuk penjara! Sementara tugas untuk melakukan kontrol terhadap semua pengeluaran investasi dari investor migas yang harus dikembalikan dalam bentuk cost recovery hingga saat ini masih di tangan SKK Migas.
Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak pihak tertentu, termasuk pejabat negara yang merangkap sebagai investor migas, batubara dan mineral yang belum rela UU Migas No.22 Tahun 2001 dicabut dengan Perppu.
Padahal menurut informasi yang paling mutakhir dari peneliti alumni ITB yang bertugas di BRIN, menyimpulkan bahwa negara kita merupakan negara paling kaya di dunia. Dengan aset kekayaan berupa sumber daya alam mineral, termasuk emas, dan migas.
Jika pengelolaan aset/harta berupa SDA migas, batubara, mineral timah, tembaga, nikel, aluminium, bauksit, emas, perak, dan lain-lain sesuai Pasal 33 UUD 1945, kondisinya tidak seperti sekarang ini. Seperti pernah diimplementasikan dalam pengelolaan sektor migas berdasarkan UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8 Tahun 1971 dengan menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil yang memastikan perolehan negara harus lebih besar dengan porsi 65 persen untuk APBN, dan 35 persen untuk investor.
Dengan porsi negara lebih besar, sehingga dapat dipastikan bahwa penerimaan APBN dari pengelolaan SDA akan naik berlipat-lipat. Multiplier effect akan mempercepat tercapainya masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita luhur dari lahirnya negara kita. (DR.Kurtubi. — Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis, dan CSM Amerika. Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014-2019)