
Oleh: Dr. Kurtubi
INDONESIA bisa kerja sama dengan negara-negara lain yang sudah membangun dan mengoperasikan banyak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), seperti Rusia, Korea Selatan, Perancis, dan Amerika Serikat.
Hal ini bisa terwujud secara efisien dan berkelanjutan tanpa menunggu terbentuknya lembaga Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) yang merupakan “peninggalan” dari era lembaga nuklir Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang dibubarkan oleh pemerintah dan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Namun, ternyata oleh para pimpinan Batan dengan berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang harus tunduk patuh pada atasan, meskipun perintah atasannya adalah untuk membubarkan lembaga Batan itu sendiri.
Untuk diketahui, sebenarnya pembentukan NEPIO itu sendiri sama sekali bukanlah merupakan kewajiban.
Jika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membangun PLTN seperti yang dicita citakan oleh Presiden Soekarno di tahun 1950-an sebagai salah satu ciri khas negara maju. Maka, Presiden Prabowo cukup mengambil kebijakan dengan mendeklarasikan lahirnya industri nuklir hulu hilir di Indonesia. Mendayagunakan potensi cadangan sumber daya alam (SDA) uranium dan thorium yang ada di Tanah air. Tanpa harus membentuk NEPIO.
Pembentukan NEPIO yang selama ini diwacanakan pasca-pembubaran Batan seolah-olah merupakan perintah yang berasal dari International Atomic Energy Agency ( IAEA) yang bermarkas di Wina.
Contoh Negara Tidak Pakai NEPIO
Negara kecil UAE yang terletak di padang pasir Jazirah Arab adalah negara produsen minyak. Ternyata bisa membangun 4 unit PLTN sekaligus tanpa membentuk NEPIO hingga hari ini.
Dari segi perundang-undangan, pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar bersama Komisi VII DPR RI di mana saya sebagai anggota Komisi VII DPR RI dan Ketua Kaukus Nuklir Parlemen meratifikasi Paris Agreement on Climate Change menjadi UU No.6/2016 yang mewajibkan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim.
Selain kita perlu belajar dari kegagalan sistim tata kelola energi migas yang ribet, ruwet, dan birokratik, dengan mencabut dua Undang-Undang, yaitu UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No 8/1971. Padahal kedua UU tersebut sudah berhasil membawa sektor migas menjadi sumber utama penerimaan APBN. Ekonomi tumbuh tinggi hingga mencapai puncaknya ke level 9,8 persen tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional.
Kemudian kedua UU tersebut diganti dengan UU Migas No.22/2001 yang mewajibkan investor mengurus sendiri perizinan yang dibutuhkan hingga mencapai 100 meja, dan harus ditemui oleh investor
Berakibat investasi dan kegiatan eksplorasi migas anjlok. Tidak ada sumur minyak baru yang ditemukan, produksi hanya mengandalkan lapangan migas yang sudah tua.
Produksi migas turun anjlok selama dua dekade, dibiarkan terus terjadi oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan Joko Widodo, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut belasan pasal dari UU ini.
Saya sudah sarankan sejak dini agar UU Migas No.22/2001 dicabut karena akan sangat merugikan negara. Lewat berbagai media dan kajian akademik, antara lain:
Namun, fakta yang terjadi adalah UU Migas No.22/2001 tetap dipertahankan hingga hari ini. Meskipun Indonesia harus keluar dari OPEC karena produksi minyak yang terus turun. Indonesia berubah menjadi negara pengimpor migas netto. Target lifting migas selalu gagal dicapai setiap tahun.
Sehingga saya berpendapat bahwa sistim dan proses investasi di sektor energi nuklir, harus dipermudah, jangan dipersulit dengan berbagai aturan yang birokratik tidak investor friendly.
Lebih baik memanfaatkan satu satunya lembaga nuklir negara yang ada saat ini, yaitu Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Dengan menyempurnakan struktur organisasinya maupun dengan meningkatkan penguasaan teknologi PLTN, termasuk faktor keamanan dari jenis teknologi PLTN yang akan dibangun. Tidak sulit bagi para ahli dan sarjana nuklir yang ada di Bapeten.
Tak ayal lagi bahwa energi nuklir sangat dibutuhkan oleh negara kita. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi 8 persen hingga tumbuh double digit dengan energi bebas emisi karbon, nonintermittent menjamin listrik bisa nyala nonstop 24 jam. Menjamin kegiatan industrialisasi dan hilirisasi SDA pertambangan bisa beroperasi nonstop 24 jam. Menuju menjadi negara industri maju di tahun 2045. Semoga. (Dr Kurtubi adalah Dewan Pakar Partai NasDem. Ketua Kaukus Nuklir Parlemen periode 2024-2019. Alumni FEUI, IFP Perancis dan CSM Amerika. Pengajar Mata Kuliah Ekonomi Energi Pascasarjana FEUI dan Universitas Paramadina)