
Oleh: Dr. Kurtubi
MERUPAKAN karunia Ilahi untuk bangsa Indonesia, sebab, tidak semua negara punya Potensi cadangan Sumber Daya Alam (SDA) energi nuklir berupa uranium dan thorium.
Kita ketahui bahwa sudah puluhan tahun SDA uranium dan thorium dimanfaatkan oleh puluhan negara maju dan negara sedang berkembang. Menghasilkan listrik bersih bebas dari emisi karbon, selain listriknya bersifat nonintermitten, sehingga listriknya bisa nyala nonstop 24 jam.
Energi nuklir ini dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan industri dan bisnis agar bisa beroperasi non stop 24 jam. dengan membangun PLTN.
Industrialisasi dan hilirisasi pertambangan akan bisa menciptakan banyak lapangan kerja baru. Sekaligus bisa mendukung optimalisasi hasil kegiatan industri dan hilirisasi yang dapat mempercepat tercapainya pertumbuhan ekonom 8 persen hingga double digit.
Terbebas dari jebakan pertumbuhan ekonomi yang selama bertahun-tahun berputar putar di level 5 persen. Menuju negara industri maju di saat negara kita merdeka satu abad di tahun 2045.
Pemanfaatan energi nuklir diperkuat dengan meluruskan tata kelola SDA yang hingga kini meskipun Indonesia sudah merdeka 80 tahun. Masih menggunakan Sistim Konsesi “G to B” di mana pemerintah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan menandatangani Kontrak Karya seperti zaman penjajahan yang menggunakan Undang-Undang Pertambangan Indische Mijnwet.
Sistim zaman penjajahan ini pasti sangat merugikan negara, karena perolehan keuntungan para penambang jauh lebih besar dari pajak dan royalti (PNBP) yang disetor ke negara.
Kita minta Menteri Keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan secara jujur dan terbuka jumlah pajak dan PNBP yang disetor ke negara setiap tahun oleh setiap penambang SDA di Indonesia.
Penambangan yang sesuai dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945 tolok ukurnya adalah: jumlah pajak dan PNBP yang disetor ke negara harus lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang, dengan porsi 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk penambang.
Apabila terjadi fenomena windfall profit akibat kenaikan harga produk tambang di pasar dunia, maka Presiden RI yang berdaulat berhak menaikkan bagian negara menjadi 85 persen dan penambang memperoleh 15 persen setelah cost recovery. Kontrol terhadap cost recovery dilakukan oleh Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan (PNPKP) yang dibentuk dengan UU.
Penambang tidak boleh dipersulit dan dikenai pajak dan PNBP ketika masih pada tahap eksplorasi belum berproduksi. Berlaku prinsip lex specialis bagi semua investor penambangan, karena keuntungan yang disetor ke negara lebih besar dari tarif pajak yang ada dalam UU Perpajakan.
Kita sarankan kepada Presiden Prabowo untuk mengambil kebijakan yang konstitusional dan rasional. Mengacu kepada langkah yang diambil oleh PM Djuanda di era Pemerintahan Kabinet Kerja, dengan mencabut pemberlakuan UU Pertambangan zaman kolonial Indische Mijnwet. (Dr Kurtubi: Ketua Kaukus Nuklir Parlemen dari Partai NasDem. Alumni SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis Dan CSM Amerika. Mantan Pengajar Ekonomi Energi Pasca Sarjana FEUI dan Universitas Paramadina)