Kedua, 30,5 ribu ton beras hasil giling tidak memenuhi standar: berwarna kuning, kuning semu, dan kuning kecoklatan. Adanya di Kanwil Bulog Sulselbar. Beras tidak memenuhi standar itu merupakan hasil giling dari penyerapan gabah semua kualitas, kendala cuaca, dan kadar air tidak homogen. Rapat koordinasi terbatas Kementerian Koodinator Pangan, 1 September 2025, menyetujui penjualan beras tidak standar itu sebanyak 21,3 ribu ton seharga Rp11.500 per kg. Belum tahu sudah terjual atau belum.
Ketiga, harga beras tetap tinggi. Memang ada kecenderungan harga beras mulai turun. Akan tetapi, merujuk panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) 23 November 2025, rerata harga beras premium masih di atas harga eceran tertinggi (HET) di semua zona: I, II, dan III. Sementara rerata harga beras medium sudah di atas HET di semua zona.
Di tengah aliran beras operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) oleh Bulog yang masih rendah sampai saat ini, harga beras medium yang turun diperkirakan karena keberadaan Satgas Pengendalian Harga Beras. Satgas ini dibentuk pada 20 Oktober 2025 melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 375 Tahun 2025. Satgas dibentuk tak lama setelah Mentan Amran mendapat tambahan amanah baru: Kepala Bapanas.
Jika perkiraan ini benar, pemerintah harus hati-hati untuk menjadikan penurunan harga itu sebagai dasar membuat kebijakan. Satgas Pengendalian Harga Beras pada dasarnya adalah bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada pasar dan pelaku usaha. Karena itu, kebijakan yang ditempuh tidak melalui mekanisme pasar, tapi memakai pendekatan keamanan dengan menjadikan Satgas Pangan Polri sebagai tangan kanan.
Ini tampak dari susunan keanggotaan Satgas Pengendalian Harga Beras, yang di setiap daerah atau provinsi dikoordinasikan oleh Satgas Pangan Kepolisian Daerah. Satgas akan mengiidentifikasi usaha dan pemeriksaan harga mulai dari produsen, distributor, toko besar, hingga retail modern. Jika sesuai HET, distempel patuh. Jika melebihi HET, diberikan surat teguran tertulis dengan penyesuaian waktu selama seminggu.
Penggunaan pendekatan hukum untuk menstabilkan harga beras dengan mendorong Satgas Pangan mengawasi stok, distribusi, dan harga beras telah menciptakan ketidakpastian usaha. Selain itu, keterlibatan aparat keamanan dalam stabilisasi harga tidak lagi mampu menggambarkan sinyal buat pelaku usaha. Yang muncul kemudian sinyal palsu. Kalau sinyal palsu ini dijadikan dasar membuat kebijakan, kebijakan bisa salah. (Penulis adalah Pengurus Pusat Perhepi, Anggota Komite Ketahanan Pangan Inkindo, serta Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan AEPI).