
Operasi pasar adalah mengguyur beras untuk pasar (baca: pedagang di pasar). Bukan mengalirkan beras ke komunitas atau konsumen akhir. Sasaran operasi pasar adalah pasar, bukan warga komunitas atau konsumen akhir seperti yang dilayani saat ini: toko pengecer di pasar tradisional, toko binaan pemda, koperasi desa/kelurahan merah putih, gerakan pangan murah (GPM) oleh dinas ketahanan pangan/pemda, toko milik BUMN, dan instansi pemerintah termasuk TNI/Polri (baca: Koramil dan Polsek).
Tentu tidak salah aparat Polri/TNI terlibat melayani masyarakat yang membeli beras SPHP. Akan tetapi, jejaring Polri dan TNI kalah luas dengan jejaring pasar. Belum lagi soal kecepatan aliran barang. Penggilingan juga perlu dilibatkan. Penggilingan padi yang juga penjual beras pasti memiliki jejaring pemasaran. Kata kuncinya, jenuhi pasar dengan beras. Berapapun permintaan mesti dipenuhi. Indikatornya harga. Kalau pasokan melimpah harga akan turun, setidaknya tertahan tidak naik.
Tidak perlu diatur rigid dengan foto segala. Untuk menutup celah laku culas, pengawasan diperketat. Dengan melibatkan aparat penegak hukum. Kalau ada yang membuka kemasan SPHP dan mencampur beras dengan beras lain, harus ditindak tegas. Dengan beras SPHP kemasan retail 5 kilogram, setidaknya menekan potensi penyelewengan. Karena perlu effort luar biasa untuk mengakali. Di saat Satgas Pangan intens masuk pasar dan mengawasi, hanya mereka yang niat dan nekat yang berani berlaku lancung.
Industri perberasan adalah contoh persaingan sempurna pasar komoditas pangan. Ratusan ribu, bahkan jutaan, penjual dan pembeli bertransaksi di pasar. Tidak ada cerita pasar oligopoli. Karena itu, untuk tetap bisa bertahan pelaku usaha akan mengerjakan yang dilakukan kompetitor. Margin perdagangan relatif kecil. Langkah tindakan hukum langsung tanpa didahului pembinaan dan teguran menimbulkan ketakutan. Mereka menghentikan operasional. Operasi pasar yang rigid mengurangi efektivitas.
Kedua, operasi pasar harus dikombinasikan penyaluran tetap. Sejak Raskin diubah menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) pada 2017, saat ini tidak ada penyaluran tetap beras yang dikelola Bulog. Berbagai outlet diciptakan, seperti Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) yang kemudian diubah jadi SPHP dan bantuan pangan beras. Akan tetapi kedua outlet itu tidak pasti: kadang ada, kadang tidak. Selain ketersediaan anggaran, juga tergantung kepentingan (politik) pemerintah.
Bukti empiris menunjukkan, pengaruh penyaluran beras operasi pasar pada harga lebih efektif apabila didukung faktor lain, terutama penyaluran tetap seperti Raskin di masa lalu. Mengapa? Karena volume penyaluran tetap seperti Raskin tergolong besar: setara 40 persen kebutuhan konsumsi keluarga. Keluarga penerima Raskin hanya perlu membeli kekurangannya saja. Ini membuat permintaan beras di pasar menurun. Harga pun turun.