
Oleh: Dr. Kurtubi
SANGAT disayangkan ternyata kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Rusia tidak membicarakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Meskipun kita ketahui berulang kali Dubes Rusia di Jakarta sudah lama menawarkan kerja sama membangun PLTN di Indonesia.
Presiden pertama RI Soekarno sejak tahun 1950-an memimpikan PLTN dibangun di Indonesia ketika beliau diundang oleh Rusia menghadiri peresmian PLTN di pinggir Kota Moscow. Pertanyaannya: Dewan Energi Nasional (DEN) pada ke mana? Mengapa anggota DEN tidak memberi masukan ketika Presiden Prabowo berkunjung ke Rusia?
Seyogyanya DEN memberi saran kepada Presiden Prabowo akan pentingnya Indonesia memanfaatkan energi nuklir dalam masa transisi energi hingga tahun 2060. Transisi energi tidak akan berhasil tanpa memanfaatkan energi nuklir.
Apakah karena Penasihat Presiden Prabowo Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro yang kebetulan memang beliau dikenal tidak setuju dengan PLTN. Seperti dinyatakan dalam sambutan Purnomo dalam buku Ketahanan Energi Indonesia Karya BIN Kalibata. Apakah Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia juga kurang memahami tentang sifat dari energi nuklir yang non-intermitten listriknya bisa menyala 24 jam?
Energi nuklir tidak membutuhkan biaya besar untuk membangun energy storage seperti yang dibutuhkan oleh jenis energi terbarukan seperti energi surya, energi bayu, energi bio, dan lain-lain. Selain negera kita punya cadangan uranium dan thorium bahan baku energi nuklir yang sangat besar.
Negara kita tentunya banyak sarjana dan ahli nuklir mantan PNS di BATAN yang masih menganggur ngetekur di BRIN. Negera kita sudah punya BAPETEN, lembaga nuklir satu-satunya yang masih ada setelah BATAN dilebur ke BRIN. BAPETEN berwenang melakukan pengawasan dan memberi izin operasi PLTN yang sesuai dengan standard keamanan IAEA.
Energi nuklir sangat tepat untuk mendukung program andalan pemerintah untuk hilirisasi tambang agar penambangan di sisi hulu yang menghasilkan produk tambang bisa bekerja 24 jam nonstop. Diikuti oleh kegiatan smelter yang juga bisa bekerja 24 jam nonstop. Hingga kegiatan industri hilir yang memanfaatkan output smelter juga bisa bekerja 24 jam stop.
Hilirisasi menjadi sangat efektif dan efisien akan menghasilkan nilai tambah sektor pertambangan yang maksimal karena proses hilirisasi bisa beroperasi 24 jam nonstop. Pasti akan dapat melipatgandakan penerimaan negara dari program hilirisasi tambang.
Terlebih jika pengelolaan pertambangan segera diluruskan untuk mengikuti Pasal 33 UUD 1945 di mana seluruh aset pertambangan harus dikuasai oleh negara, di mana status kepemilikan atas aset pertambangan ada di tangan negara untuk dikelola bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan menerapkan sistem kontrak bagi hasil “B to B” yang menjamin penerimaan negara dari sektor pertambangan harus lebih besar dari keuntungan bersih investor/penambang setelah cost recovery.
Mengikuti implementasi kontrak bagi hasil di sektor migas ketika sektor migas masih menggunakan UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971. Produksi migas nasional tinggi berkat kedua UU tersebut, investor dipermudah semua perizinan diurus oleh Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan sekaligus sebagai penanda tangan kontrak bagi hasil.
Implementasi Pasal 33 UUD45
Kajian akademis tentang Solusi Pengembalian Kedaulatan Negara atas Aset Migas dan Minerba Penulis presentasikan di Forum Konferensi Guru Besar Indonesia ke IV di Makassar Tahun 2012. Saya sertakan 7 karya ilmiah yang saya presentasikan di Forum Annual Conference dari IAEE ( International Association for Energy Economics) di Budapest, Roma, Praha, dan Francisco, dan lain-lain.
Pertamina di bawah UU No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971 telah terbukti berhasil menempatkan Sektor migas menjadi sumber utama penerimaan APBN dan sumber utama penerimaan devisa hasil ekspor hingga mencapai sekitar 80 persen dari penerimaan APBN tatkala produksi migas tinggi dan harga migas dunia tinggi di sekitar 1980.
Jika pengelolaan aset sumber daya alam pertambangan yang sangat besar dan beragam diluruskan agar sesuai dengan konstitusi. Maka mimpi negeri ini untuk menjadi negara industri maju berpendapatan tinggi akan bisa terwujud. Didukung oleh kalangan intelektual perguruan tinggi dan kalangan kritis dari pensiunan petinggi militer yang juga menginginkan agar pengelolaan sumber daya alam dikembalikan sesuai konstitusi Pasal 33 UUD 1945. (Dr Kurtubi adalah Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014– 2019. Anggota Dewan Pakar DPP NASDEM. Alumni SMAN Mataram, FEUI, IFP Perancis, CSM Amerika. Mantan Pengajar Ekonomi Energi Pasca Sarjana FEUI dan Universitas Paramadina)