
Berlin,corebusiness.co.id-Pernah mengalami masa-masa sulit selama menempuh pendidikan di Berlin, Jerman, Alwien Parahita memutuskan mendedikasikan hidupnya untuk membantu pelajar, mahasiswa, serta memberikan advokasi hukum bagi Warga Negara Indonesia (WNI) selama berada di Jerman.
Seorang WNI yang hidup di negara lain, kadang mendapatkan kendala dari berbagai aspek kehidupan. Apalagi, jika tidak ada keluarga atau kerabat yang menemani di negara asing tersebut.
Alwien Parahita, pernah mengalami kondisi seperti itu di awal-awal menjalani kehidupan sehari-hari di Jerman.
Alwien, begitu pria kelahiran 5 November 1998 ini biasa disapa, menuturkan, sebenarnya ia tidak merencanakan bakal menjalani hidup dan karier di negeri Panzer. Kenyataannya, hingga saat ini dirinya sudah bermukim selama 12 tahun di Berlin, Ibu Kota Jerman.
Ia mengisahkan, semasih remaja, dia adalah anak yang badung, sampai-sampai tidak begitu peduli dengan pendidikannya. Sampai akhirnya ketika dia harus mengikuti ujian akhir sebelum lulus dari SMAN 81 Jakarta, tempatnya menempuh pendidikan, baru tersadar. Ia merasa selama ini sudah membuang-buang waktu, karena terlalu banyak main.
Sejak saat itulah, Alwien pun berpikir, jika harus mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dia pasti tersisih, karena para kompetitornya sudah mempersiapkan diri sejak jauh- jauh hari. Akhirnya muncul sebuah pemikiran out of the box dalam dirinya.
’’Saya mau melanjutkan pendidikan ke negara yang jauh. Yang tidak menggunakan Bahasa Inggris. Akhirnya pilihannya, jatuh ke Jerman,’’ kenang dia saat ditemui di Waldstrasse, Berlin, beberapa waktu lalu.
Pertimbangannya memilih Jerman, selain karena alasan ingin mempelajari bahasa baru, juga karena biaya pendidikan di Jerman gratis. Namun, bukan berarti itu menyelesaikan semua masalah. Sebab, sebelum kuliah, dia harus mengikuti prauniversitas yang disebut Studienkolleg (Studkoll).
Alwien beruntung bisa langsung masuk ke Studienkolleg, yang ditempuhnya dalam kurun waktu setahun. Dia memilih program studi Teknik Mesin di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin (HTW Berlin).
Nyambi Kerja
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Alwien memutuskan bekerja di sebuah perusahaan. Aktivitasnya sebagai karyawan di perusahan, ternyata agak menyulitkan dirinya membagi waktu untuk mengikuti kegiatan belajar di bangku kuliah. Tak ayal, pendidikannya pun sempat berantakan. Namun, lagi-lagi dia bangkit, dan mampu lulus dan mengejar gelarnya dari HTW Berlin.
’’Satu hal lagi yang membuat saya beruntung, saat itu, angka kelulusan mahasiswa Indonesia di Jerman sangat rendah. Di bawah 30 persen. Angka kelulusan anak-anak Indonesia yang mengikuti Studkoll juga memprihatinkan. Dari sepuluh anak, bisa ada tiga yang tidak lulus,’’ ungkapnya.
Atas dasar itulah, pada 2012, dia bersama seorang rekannya memberanikan diri untuk menggagas sebuah gerakan sosial yang disebut Gerakan Indonesia Peduli (GIP). GIP adalah semacam kursus untuk anak-anak Indonesia yang akan tes masuk Studkoll.
Alwien menjelaskan, biaya operasional untuk menyewa tempat kursus itu dipungut dari dana pribadinya hingga patungan dari beberapa orang. Para tutor yang mengajar juga adalah mahasiswa Indonesia atau siswa Studkoll yang mau bekerja secara sukarela pada akhir pekan.
Dalam perjalanannya, GIP sempat berpindah-pindah tempat. Bahkan suatu waktu mereka sempat menyewa di tempat sirkus. Pernah juga mereka bermasalah dengan hukum di Jerman.
’’Waktu itu saya sudah jadi tenaga honorer di KBRI Berlin, tempat kami sempat didatangi polisi karena mereka menganggap kami melakukan aktivitas ilegal, menggunakan rumah tinggal tidak sesuai dengan peruntukannya,’’ ungkap Alwien.
Namun, dari kejadian itulah, dia pun mulai berpikir, mau dibawa ke mana GIP? Lalu dia pun sampai pada kesimpulan untuk melegalkan GIP. Tidak bisa terus-terusan menjadi sebuah gerakan underground.
“Setelah berjalan lima tahun, tepatnya pada 2017, GIP pun sudah berbadan hukum,” ucap Alwien yang saat ini sudah menjadi seorang ayah dari tiga anak.
Lalu, pada 2020, badan hukumnya meningkat menjadi Gesellschaft mit beschränkter Haftung (GmbH), semacam Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia. Namanya pun berubah jadi Germany Indonesia Professionals (GIP) yang mempunyai pelayanan spesifik untuk pelajar yang ingin menembus Studkoll.
Namun, karena terhadang pandemi Covid-19, sejak Agustus 2020, GIP hanya menyelenggarakan kelas secara online. Meski telah bergerak secara profesional, namun Alwien tidak melupakan sisi sosial dan pemberdayaan. Salah satunya melalui GIP Talks yang digelarnya. Temanya bermacam-macam, mulai dari pendidikan sampai hukum.
Advokasi WNI tentang Hukum
Mengenai masalah hukum, ungkapnya, ternyata banyak juga WNI yang terjerat masalah hukum di Jerman. Masalah hukumnya tentu saja berbeda dengan yang kerap dialami di negara-negara yang banyak merekrut WNI sebagai pekerja migran. Misalnya di Malaysia, Taiwan, atau Arab Saudi.
Jika di negara-negara itu, problema yang kerap menjerat WNI kebanyakan berkaitan dengan pidana, masalah hukum di Jerman mayoritas berkaitan dengan pelanggaran aturan.
’’Biasanya berkaitan dengan izin tinggal. Itu kebanyakan terjadi karena sikap abai dan enggan bertanya, sampai akhirnya tidak sadar terkena masalah hukum,’’ terang dia.
Kemudian, Alwien mulai berpikir untuk bekerjasama dengan seorang pengacara Jerman, Bernhardt Kanzler, untuk memberikan edukasi sekaligus advokasi tentang hukum. Alwien juga bisa memberikan advokasi soal hukum itu, karena dia sendiri pernah bermasalah dengan hukum di Jerman. Bahkan, dia pernah menjadi klien dari Kanzler. Permasalahan hukum yang membelitnya berkaitan dengan izin tinggal, dan butuh waktu sampai sembilan bulan untuk membereskannya.
Atas dasar itulah, dia pun mendedikasikan hidupnya untuk membantu WNI yang ada di Jerman. Statusnya sebagai Staf di KBRI Berlin pun memudahkannya untuk melakukan itu. Alwien mengutarakan, dulunya, dia merasa geram dengan perwakilan Indonesia di Jerman, baik kedutaan besar maupun konsulat. Alasannya, kedua lembaga perwakilan negara itu tidak berbuat apa-apa meski angka masuk Studkoll, angka lulus Studkoll, serta angka lulus kuliah mahasiswa Indonesia di Jerman sangat rendah.
’’Karena itulah, saya mengincar pekerjaan di KBRI. Terutama atase pendidikan KBRI, agar saya bisa berperan bagi anak-anak Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jerman,’’ paparnya.
Suami dari Fitria Anindhita itu menyatakan, saat ini, sejak dia masuk ke KBRI, terutama saat dia akhirnya bisa menjabat sebagai atase pendidikan di KBRI Berlin, dirinya sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Jerman untuk menemui para siswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negara yang dipimpin Kanselir Angela Merkel itu.
’’Mereka butuh di-encourage, diberikan semangat dan konseling biar bersemangat untuk menyelesaikan pendidikan,’’ pungkasnya.
Alwien menyatakan, saat ini, angka keberhasilan masuk Studkoll, lulus Studkoll, maupun lulus kuliah sudah meningkat. Paling tidak sudah di atas 50 persen. Namun, dia menyatakan, ingin terus berusaha agar angka itu terus meningkat bagi calon regenerasi mendatang (Penulis: Sudiyono, Editor: Syarif)