Jakarta,corebusiness.co.id–Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) menyelenggarakan Seminar Bahasa dan Budaya di Aula Ahmad Dahlan lantai 6 Kampus UHAMKA, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, antara lain Prof. Dr. Agus Suryadika, Dr. Desvian Bandarsyah, Dr. Tajudin Nour, Chairil Gibran Ramadhan, Yahya Andi Saputra, dan Erfi Firmansyah.
Dalam seminar tersebut, para pembicara membahas berbagai aspek bahasa dan budaya Betawi, mulai dari dialek, karakter tutur, hingga tantangan pelestarian budaya lokal di tengah arus modernisasi.
Momen penting dalam kegiatan ini adalah penganugerahan Uhamka Award 2025 kepada Chairil Gibran Ramadhan (CGR), budayawan, sastrawan, sekaligus peneliti sejarah sosial yang dikenal luas atas kiprahnya dalam mempromosikan budaya Betawi selama lebih dari dua dekade.
Ketua Pusat Studi Bahasa UHAMKA, Dr. Edi Sukardi, M.Pd, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi universitas terhadap tokoh-tokoh yang berkontribusi nyata dalam dunia bahasa, sastra, dan kebudayaan.
“Ke depan, Uhamka Award akan terus diselenggarakan dan diberikan kepada tokoh-tokoh yang layak menerimanya,” ujarnya.
CGR, yang dikenal kritis terhadap pemerintah, dalam kesempatan itu menyampaikan sindiran tajam terhadap kurangnya perhatian negara terhadap budaya lokal.
“Mungkin bangsa ini harus dijajah lagi oleh Belanda agar sadar pentingnya melestarikan bahasa dan budaya sendiri,” ujarnya, disambut tawa sekaligus renungan oleh para peserta seminar.
Tak hanya itu, CGR juga mengkritisi judul Seminar Bahasa dan Budaya: ‘Bahasa Melayu Betawi dalam Tuturan Bahasa Melayu Tinggi’. Menurutnya, kata ‘Bahasa Melayu Betawi’ pada judul seminar oleh panitia para pembicara lain, dimaknai sebagai Bahasa Betawi yang kini memasyarakat dan ‘Bahasa Melayu Tinggi’ dimaknai sebagai Bahasa Indonesia yang sekarang ada.
“Jika dilihat dari sisi ragam bahasa pada masa Kolonial, ragam bahasa Melayu Betawi dan Melayu Tinggi adalah “kembar tidak identik” yang lahir dari rahim Nusantara,” kata CGR.
Ia menjelaskan, ragam bahasa Melayu Betawi disebut juga Melayu Tionghoa, Melayu Pasar, Melayu Rendah. Populer digunakan antara 1870-an hingga 1940-an sebagai bahasa lisan dalam pergaulan keseharian. Sedangkan Melayu Tinggi yang disebut juga Melayu Balai Pustaka, Melayu Gupernemen, Melayu Diplomasi, atau Melayu Kitab, merupakan bahasa formal pada dunia pemerintahan, pendidikan, dan sastra. Ragam bahasa ini berasal dari dialek Melayu Riau dan menjadi dasar Bahasa Indonesia.