KA SOH adalah salah satu restoran ternama yang terimbas badai krisis sektor rill di Singapura. Negara yang selama ini dikenal sebagai pusat stabilitas ekonomi di Asia Tenggara kini tengah mengalami guncangan besar. Dalam rentang 2024–2025, industri makanan dan minuman (food and beverage/FnB) Singapura tercatat mengalami gelombang penutupan terbesar dalam hampir 20 tahun terakhir.
Lebih dari 3.000 restoran tutup hanya dalam satu tahun, atau rata-rata 250 restoran gulung tikar setiap bulan. Fenomena ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, pengamat ekonomi, hingga masyarakat luas.
Ka Soh Restaurant sudah mulai beroperasi pada tahun 1939. Dimulai sebagai kios gerobak sederhana bergaya Kanton. Bisnis kuliner ini telah melewati banyak tantangan, termasuk Perang Dunia II, wabah pernapasan akut berat SARS, depresi ekonomi global, sampai pandemi Covid-19.
Pada tahun 1950-an, restoran ini dikenal sebagai Swee Kee Eating House yang terletak di Chin Chew Street di luar South Bridge Road. Mereka lalu pindah ke Amoy Street pada tahun 1997. Mengubah namanya menjadi Swee Kee (Ka Soh) Fish Head Noodle House.
‘Ka Soh’ diartikan sebagai ‘menantu perempuan’ dalam Bahasa Kanton. Mengacu pada seorang pelayan lama yang bekerja di sana selama lebih dari 40 tahun, lapor ieatshootipost.sg. Dicintai karena sup-nya yang lezat dan ayam terasi udangnya, Swee Kee, yang akrab dipanggil ‘Ka Soh’ menjadi tempat favorit untuk menikmati kuliner khas Kanton.
Mereka juga sempat membuka usaha kuliner baru (sister brand) bernama Ka-Soh Restaurant yang memiliki dua cabang. Satu di College Road Outram dan di Greenwood Avenue.
Krisis sektor rill mendalam yang melanda Singapura ikut mengguncang usaha Ka Soh. Mereka terpaksa menutup usaha food and beverage (FnB) di Amoy Street–yang berjalan selama 25 tahun–pada Mei 2021.
Kini, Ka Soh dikelola oleh Cedric Tang, cucu dari pendirinya, Tang Kwong Swee. Cedric (40) adalah generasi ketiga pengelola Ka Soh, dulunya adalah profesional korporat yang sukses. Ia memutuskan meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi untuk melestarikan warisan keluarga. Gerai mereka di Amoy Street dan Outram telah meraih penghargaan Michelin Bib Gourmand.
Namun, setelah bertahun-tahun berjuang melawan kesulitan ekonomi, mereka tak kuasa untuk menutup gerai terakhir mereka di Greenwood Avenue pada 28 September 2025.
Cedric telah melakukan semua yang ia bisa–mengepel lantai, menyajikan pesanan ke meja pelanggan, dan mengelola media sosial merek tersebut–tetapi, ketika sewa melonjak dari $9.000 menjadi $12.000 dalam tiga tahun, angka-angka tersebut menjadi tidak masuk akal. Kenaikan harga menuai reaksi keras, dan penyalahgunaan pelanggan menjadi hal yang lumrah.
Kini, Cedric sedang mempertimbangkan masa depan yang lebih tenang: menjual sup ikan kesayangan kakek-neneknya dari rumah, dan mungkin, suatu hari nanti kembali berjualan dari warung kaki lima.
Dalam sebuah wawancara dengan ricemedia.co, Cedric menuturkan alasan menutup usaha warisan kakek-neneknya dan harapan kepada Pemerintah Singapura.
Singapura, dirasakan Cedric, sedang berada di tengah perubahan yang pesat, dan lajunya semakin cepat dalam lima tahun terakhir. Disrupsi teknologi, kenaikan biaya, pergeseran nilai, dan perubahan perilaku pelanggan, semua ini menghampiri rakyat dengan cepat. Rakyat Singapura tidak dapat menghentikan perubahan ini, tetapi perlu belajar bagaimana merespons dengan ketahanan dan kreativitas.
Cedric mengungkapkan tiga tantangan keuangan utama yang dihadapi bisnis FnB adalah biaya barang, biaya tenaga kerja dan kuota wajib, serta biaya sewa. Ketiganya telah dibahas habis-habisan karena semuanya meningkat pesat. Namun, tantangan besar lainnya yang dihadapi kuliner tradisional adalah disparitas persepsi–misalnya, kebanyakan orang berharap membayar lebih murah untuk mi lokal dibandingkan pasta dan ramen.
Saat ini, kata dia, banyak bisnis dan individu merasa mereka hanya berusaha untuk bersaing. Namun, jika ingin Singapura tetap menjadi tempat di mana orang-orang dapat hidup dan berkembang, bukan hanya bertahan hidup, pelaku usaha perlu menciptakan ruang untuk adaptasi, kasih sayang, dan pemikiran jangka panjang.
“Jadi, Anda harus benar-benar gila untuk terjun ke bisnis food and beverage hari ini, dan siap untuk terjun langsung dan saling membantu. Namun demikian, gairah adalah emosi yang kuat–bila Anda terus melakukannya, Anda akan menemukan solusi untuk masalah yang muncul,” ucapnya.
Cedric mengungkap, tren usaha di industri makanan dan minuman sudah keras, bahkan brutal. Namun, media sosial membuatnya semakin sulit, dengan munculnya komentar-komentar yang hanya bisa mengkritik atau melampiaskan rasa frustrasi mereka.
Ia juga membaca ulasan dan komentar di artikel tentang bisnis kuliner Ka Soh. Yang tidak mereka lihat adalah kerja keras, pengorbanan, dan ketulusan yang tercurah dalam setiap hidangan.
“Beberapa komentator bersembunyi di balik profil palsu dan merasa berhak menjelek-jelekkan orang lain tanpa konteks atau rasa kasihan. Dan mereka akan selalu menemukan hal buruk untuk dikatakan, apa pun yang Anda lakukan,” ungkapnya.
Cedric cerita pernah punya pelanggan yang mengatakan sup ikan yang disajikan amis, dan memarahi dirinya bermenit-menit. Pelanggan itu tidak memberikan umpan balik ketika Cedric ingin diberikan kesempatan untuk memasak semangkuk baru sesuai selera pelanggan tersebut.
“Dia malah menulis ulasan pedas secara terus-menerus, ini sangat merugikan. Kita membutuhkan budaya yang menghargai umpan balik yang membangun, bukan kekejaman yang disamarkan sebagai kejujuran,” tukasnya.
Terhadap pemimpin di pemerintahan, berdasarkan pengalamannya selama lima tahun terakhir, ia berharap bisa melihat pergeseran pendekatan pemerintah, dari pendekatan ‘tunggu dan lihat’ atau ‘pantau situasi’ menjadi pendekatan yang lebih proaktif.
“Kita membutuhkan kebijakan dan skema dukungan yang tepat waktu, praktis, dan benar-benar berdampak bagi bisnis di lapangan,” sarannya.
Dicontohkan, berbagai instansi pemerintah terkait sektor makanan dan minuman memiliki kebijakan dan Key Performance Indicator (KPI) yang berbeda. Menurutnya, jika Pemerintah Singapura dapat mengintegrasikan semua badan yang berkepentingan di sektor makanan dan minuman, akan lebih mudah bagi operator makanan dan minuman untuk menyelaraskan tujuan mereka dengan satu badan payung yang terpadu.
“Ini bisa menjadi titik fokus bagi semua operator makanan dan minuman daripada harus berurusan dengan masing-masing badan secara terpisah,” imbaunya.
Ditanya ricemedia.co, Singapura bergerak cepat, satu hal yang perlu diperlambat, Cedric menjawab,”Kita perlu memperlambat dan meluangkan waktu untuk menikmati keindahan. Mari kita hargai hidup di masa kini. Di tempat yang bergerak cepat seperti Singapura, seringkali ada tekanan tak terlihat yang menumpuk di bawah permukaan. Kita tidak selalu menyadari dampaknya sampai terlambat”.
Cedric mengutarakan dirinya menghadapi stresor setiap hari, dan kesehatan mental menjadi perhatian yang terus berkembang. Kondisi ini, diduga tidak hanya di industri FnB tetapi juga di seluruh masyarakat.
“Tantangannya adalah titik kritisnya jarang terlihat. Jika kita tidak mengambil langkah lebih awal, kita berisiko melewati batas yang bahkan tidak kita sadari sedang kita dekati. Dan ketika kita tiba-tiba menemukan diri kita di titik kritis, kerusakan yang ditimbulkan mungkin sudah terlambat untuk diperbaiki,” paparnya.
Jelang akhir wawancara, Cedric penuh harap pemerintah bisa melindungi bisnis-bisnis warisan di Singapura. Ia melihat begitu banyak toko kecil menghilang–tergusur oleh teknologi, kenaikan biaya, dan jaringan toko-toko besar. Kini, bahkan toko-toko kecil yang dikelola keluarga dan diam-diam telah melayani komunitas mereka selama beberapa dekade pun tutup satu per satu.
“Bagi saya, saya tumbuh besar dengan tinggal dan bermain di sekitar restoran keluarga saya. Saya merasa berkewajiban untuk melestarikan merek dan nilai sentimentalnya, karena tahu bahwa merek ini sangat berarti bagi banyak orang Singapura,” aku Cedric yang terus berupaya melanjutkan usaha kuliner warisan kakek-neneknya di tengah keterpurukan yang sedang dialami saat ini. (Rif)