Dampak sosialnya makin terasa, seperti makin tingginya prevalensi penyakit tidak menular (73 persen), masih tingginya prevalensi stunting (21,7 persen), dan penyakit TBC yang masih bertengger pada peringkat kedua. Ini semua dipengaruhi oleh gaya hidup tidak sehat, khususnya dalam pola konsumsi makanan, minuman, dan merokok.
“Kebijakan pengendalian untuk kedua komoditas ini masih lemah. Karena itu, di era Prabowo Subianto semestinya ada penguatan dalam tataran implementasi, apalagi sudah ada PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan,” jelas Tulus.
Keempat, infrastruktur yang dibangun di era Presiden Joko Widodo memang cukup masif, khususnya pelabuhan, bandara, dan utamanya jalan tol, yang mencapai panjang lebih dari 3.000-an km. Namun manfaat riil dari infrastruktur ini belum terasa secara signifikan, khususnya untuk menekan tingginya harga komoditas pokok, atau bahkan menurunkan biaya logistik (logistic fee), yang hingga kini masih tinggi. Masih tingginya biaya logistik tentu berdampak terhadap harga bahan pangan, karena menyangkut komplikasi dalam urusan distribusi.
“Selain itu, banyak infrastruktur yang dibangun, seperti kata pepatah, hidup segan mati tak hendak, contohnya jalan tol ruas Manado-Bitung,” ujarnya.
Kelima, masih tingginya impor bahan pangan, baik itu beras, gandum, mi instan, bahkan singkong dan jagung. Tingginya impor bahan pangan mengakibatkan harga yang mahal, apalagi jika dipengaruhi oleh geopolitik global yang makin memanas, dan faktor krisis iklim. Janji Presiden Prabowo untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam lima tahun ke depan, patut didukung dan diapresiasi. Ketergantungan terhadap impor bahan pangan sudah sangat mengkhawatirkan.