Depok,corebusiness.co.id-Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI), Riyanto mengapresiasi gerak cepat jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) dalam menjalankan program optimasi lahan rawa atau Oplah yang terbukti mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional selama gelombang panas el nino parah yang terjadi dua tahun lalu.
Menurut Riyanto, program tersebut bisa dirasakan masyarakat tahun ini, di mana pasokan panen raya melimpah sehingga berpengaruh terhadap harga beras yang mengalami deflasi pada November. Kata dia, deflasi tersebut menjadi tanda bahwa beras Indonesia tengah berada dalam posisi surplus.
“Kalau harga deflasi berarti beras kita surplus. Kenapa? Karena program intensifikasi lahan rawa, ekstensifikasi, dan penggunaan teknologi, eksplorasi mineral serta mekanisasi dari Kementan berhasil menjaga stabilitas produksi,” ujar Riyanto, Kamis (4/11/2024).
Riyanto mengatakan, masalah beras menjadi krusial apabila tidak ditangani dengan baik, terutama menjelang hari raya besar seperti Natal dan tahun baru yang tinggal beberapa minggu lagi.
“Ini yang namanya solusi konkret, El Nino waktu itu ditangani secara cepat, sehingga hari ini beras kita turun,” katanya.
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat anomali berupa deflasi pada komoditas beras. Pada November 2024, harga beras mengalami penurunan sebesar 0,45 persen dengan andil deflasi sebesar 0,02 persen. Deflasi ini terjadi di 26 provinsi, dengan penurunan terdalam tercatat di Papua Pegunungan sebesar 4,64 persen.
Adapun penyebab deflasi beras terjadi karena penurunan harga mulai dari gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), beras medium, dan premium.
Untuk diketahui, harga gabah kering panen turun sebesar 1,86 persen secara bulanan (month to month) dan 6,18 persen secara tahunan (year on year). Sementara untuk gabah kering giling turun sebesar 1,84 persen secara bulanan dan sebesar 8 persen secara tahunan.