Kedua, meningkatnya permintaan smelter pada 2026. Permintaan bijih nikel diperkirakan meningkat lebih lanjut pada tahun 2026 seiring dengan pengoperasian kapasitas peleburan baru, khususnya di segmen hidrometalurgi.
Dorongan pemerintah untuk pengembangan hilir bernilai tambah tinggi dengan emisi rendah telah mendorong investasi dalam proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Sumber MHP dapat dibuat dari bijih nikel kadar rendah atau limonit melalui teknologi HPAL, atau dapat dibuat dari serbuk hitam baterai.
“MHP adalah bubuk abu-abu hijau yang dapat larut dalam air,” terang SMM.
Meskipun Indonesia memiliki lebih sedikit fasilitas HPAL dibandingkan dengan operasi pirometalurgi berbasis teknologi Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF), SMM mengungkap, kapasitas hidrometalurgi terus berkembang secara stabil. Karena itu, perlu ditingkatkan konsumsi limonit untuk output nikel.
SMM menyatakan, memproduksi satu ton MHP membutuhkan bijih yang jauh lebih banyak ketika kadar umpan menurun.
Menurut perkiraan SMM, Indonesia dapat menghasilkan lebih dari 200 ribu ton output logam nikel tambahan pada tahun 2026, yang akan diterjemahkan menjadi peningkatan signifikan dalam permintaan bijih nikel. Perkiraan ini belum sepenuhnya memperhitungkan kapasitas tambahan dari proyek nickel matte, Nickel Pig Iron (NPI), dan ferronikel (FeNi) yang sedang dibangun atau dalam tahap perencanaan.
Sebagai perbandingan, data internal SMM menunjukkan bahwa permintaan bijih nikel Indonesia pada tahun 2025 dapat mencapai sekitar 280 juta wet metric ton (wmt). Bahkan setelah memperhitungkan pemotongan produksi, penghentian pemeliharaan, atau penundaan di beberapa smelter, pengoperasian proyek baru pada tahun 2026 kemungkinan akan mendorong permintaan bijih melampaui level 2025.
Diungkapkan, meskipun tujuan Indonesia untuk mengurangi pasokan bijih nikel jelas, yang didorong oleh tujuan harga dan keberlanjutan sumber daya, pengurangan menyeluruh kuota RKAB 2026 menjadi 250 juta ton mungkin sulit dipertahankan dalam praktiknya. Faktor-faktor tertentu dapat mendorong kuota yang disetujui akhir lebih tinggi, termasuk meningkatnya permintaan hilir, penurunan kadar bijih, dan mekanisme revisi pertengahan tahun sistem RKAB sendiri.
SMM memperkirakan RKAB bijih nikel yang disetujui Indonesia untuk tahun 2026 kemungkinan akan tetap di atas 250 juta ton, kecuali penegakan kebijakan menjadi jauh lebih ketat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (Rif)