160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

Pengusaha Bauksit Buka Suara soal Denda Rp 1,7 Miliar bagi Pelanggar Kawasan Hutan

Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto. Foto: Istw
750 x 100 PASANG IKLAN

Jakarta,corebusiness.co.id– Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto, buka suara terkait ketentuan sanksi denda administatif sebesar Rp 1,7 miliar per hektare bagi perusahaan yang melanggar penambangan bauksit di kawasan hutan.

Aturan itu tertuang dalam  Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Tarif Denda Administratif Pelanggaran Kegiatan Usaha Pertambangan di Kawasan Hutan untuk Komoditas Nikel, Bauksit, Timah, dan Batubara.

Regulasi yang ditandatangani oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pada 1 Desember 2025 merupakan tindak lanjut dari Pasal 43A Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

“Perhitungan penetapan denda administratif atas kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan didasarkan hasil kesepakatan Rapat Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Selaku Ketua Pelaksana Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan Nomor B-2992/Set-PKH/11/2025 tanggal 24 November 2025,” bunyi salah satu pasal Kepmen tersebut, dikutip Kamis (11/12/2025).

750 x 100 PASANG IKLAN

Besaran tarif denda administratif ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan dengan sanksi administrasi tertinggi dikenakan untuk pelanggaran pertambangan nikel, yaitu mencapai Rp6,5 miliar per hektare (ha). Sementara itu, komoditas bauksit dikenakan denda sebesar Rp1,7 miliar per ha, timah Rp1,2 miliar per ha, dan batubara Rp354 juta per ha.

Ketua ABI, Ronald Sulistyanto, mensinyalir ketentuan baru tersebut dikeluarkan Menteri ESDM, akibat bencana hidrometeorologi di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Bencana diduga terjadi dampak dari aktivitas penambangan di kawasan hutan.

Menurut Ronald, Kepmen ESDM ini tumpang tindih dengan peraturan tentang kehutanan. Karena, perusahaan yang ingin melakukan aktivitas penambangan harus sudah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

UU itu juga membunyikan sanksi pidana terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

750 x 100 PASANG IKLAN

“Kewenangan Kementerian ESDM adalah memberikan sanksi administratif sesuai Undang-Undang Minerba, jika perusahaan itu melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tapi belum ada IPPKH. Menteri ESDM bisa mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut,” jelas Ronald kepada corebusiness.co.id, Kamis (11/12/2025).

Ronald mengatakan, dengan diterbitkannya Kepmen ESDM No.391 Tahun 2025 seolah menjadi ajang mengejar target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada sektor energi dan sumber daya mineral.

Ia mengungkapkan, secara kasat mata perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan bauksit di kawasan hutan bisa ketahui dan dilihat oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Aktivitas pertambangan sudah bisa dipantau melalui satelit atau drone.

“Sebenarnya banyak perusahaan tambang yang baik, mereka menjalankan aktivitas pertambangan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Namun, karena ulah satu, dua perusahaan tambang nakal, perusahaan tambang yang baik kena imbasnya,” tuturnya.

750 x 100 PASANG IKLAN

Ronald menduga, terjadinya pelanggaran penambangan di kawasan hutan bisa saja karena sebelumnya ada pembiaran dari oknum-oknum tertentu. Sehingga, perusahaan nakal tersebut melakukan aktivitas tambang di luar lahan konsesi yang telah ditentukan, tidak sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dilaporkan ke Kementerian ESDM. (Rif)

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !