Jakarta,corebusiness.co.id-Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara (ASPEBINDO) memahami dilakukannya impor nikel sebagai langkah sementara untuk memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri. Namun, langkah ini menunjukkan adanya tantangan dalam pengelolaan sumber daya nikel domestik.
Ketua Umum ASPEBINDO, Anggawira mengemukakan, seharusnya, Indonesia sebagai produsen utama nikel dunia tidak bergantung pada impor untuk kebutuhan industri nasional. Dia menyorot salah satu pertimbangan dilakukannya impor nikel akibat keterlambatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang diajukan perusahaan pertambangan nikel dari Kementerian ESDM.
“Keterlambatan persetujuan RKAB dari Kementerian ESDM menyebabkan terganggunya pasokan bijih nikel untuk smelter di dalam negeri. Karena itu, ASPEBINDO mendorong proses birokrasi yang lebih efisien agar industri tambang dapat beroperasi secara optimal tanpa hambatan administratif,” kata Anggwira kepada corebusiness.co.id, Selasa (26/11/2024).
ASPEBINDO, disampaikan Anggawira, berharap impor nikel yang dilakukan saat ini sebagai solusi jangka pendek. Menurutnya, pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia bahwa impor “tidak haram” dapat dipahami sebagai solusi pragmatis.
“Namun, ke depannya, kebijakan ini harus diimbangi dengan penguatan tata kelola tambang domestik agar Indonesia tidak bergantung pada negara lain, termasuk Filipina,” tegasnya.
ASPEBINDO juga mendorong sinergitas antara pemerintah, perusahaan tambang, dan pelaku industri hilir untuk memastikan pasokan bahan baku domestik mencukupi kebutuhan smelter. Langkah ini penting untuk menjaga keberlanjutan industri nikel nasional dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.
Selain itu, ASPEBINDO mengingatkan perlunya strategi jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan sumber daya mineral, termasuk memastikan pasokan bijih nikel berkualitas rendah (low-grade ore) untuk mendukung industri hilir tanpa merusak ekosistem tambang.
Sebelumnya, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa keterlambatan persetujuan RKAB perusahaan pertambangan nikel karena membutuhkan pemeriksaan secara komprehensif dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM. Bahlil menegaskan, setiap RKAB yang disetujui oleh Ditjen Minerba harus memperhitungkan keseimbangan antara demand dan supply agar tidak terjadi kelebihan pasokan (oversupply).
“Jangan sampai supply lebih banyak daripada demand, karena harganya nanti jatuh. Kita menjaga agar harga enggak jatuh,” kata Bahlil di acara Minerba Expo, Senin (25/11).
Bahlil bahkan tidak tidak mempermasalahkan impor nikel. Sebab, Indonesia sebagai negara industri nikel, impor nikel tidak haram dilakukan untuk memenuhi stok bahan baku. Lantaran itu, Bahlil menyarankan kepada perusahaan tambang tidak menaikkan produksi nikel dalam RKAB yang melebihi kapaasitas permintaan di saat ada peluang impor nikel.
Menukil Kontan, ada perusahaan smelter mengimpor nikel dari Filipina untuk memenuhi kebutuhan produksi. Hal ini terjadi, karena perusahaan tersebut mengalami kekurangan pasokan nikel untuk kebutuhan smelter.
Kekurangan pasokan bijih nikel ini memaksa perusahaan smelter mengimpor nikel dari Filipina per Juli 2024, nilai impor bijih nikel dari Filipina melonjak 648,18 persen dibandingkan Maret 2024.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengatakan, impor bijih nikel terpaksa dilakukan karena pasokan bijih nikel dai perusahaan tambang di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan smelter.
Kondisi ini terjadi lantaran banyak perusahaan tambang nikel yang belum mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). (Syarif)