Jakarta,corebusiness.co.id– Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan power wheeling (sewa jaringan) adalah pelanggaran konstitusi, karena meliberalisasi sektor kelistrikan kepada perusahaan swasta, yang seharusnya merupakan monopoli PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menurut Fahmy, pelanggaran konstitusi ini mencakup beberapa hal, di antaranya: UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, dan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Fahmy menjelaskan melalui surat keterangan tertulis bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sempat tertunda dan kini kembali dibahas di Komisi VII DPR RI. Penundaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat terkait pasal power wheeling dalam RUU EBET.
“Pasal tersebut sempat dihapus pada awal 2023, namun kemudian dimunculkan kembali tiga bulan kemudian dan saat ini sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi,” ujar Fahmy.
Fahmy menjelaskan power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) membangun pembangkit listrik EBET dan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Harga sewa penggunaan jaringan tersebut ditentukan oleh pemerintah.
“Penggunaan skema power wheeling oleh IPP untuk menjual listrik langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, akses power wheeling ke wilayah khusus, baik wilayah PLN maupun wilayah non-PLN industri, akan mengurangi pendapatan PLN yang sebagian besar berasal dari pelanggan industri,” imbuhnya.
Fahmy mengingatkan bahwa skema power wheeling dapat meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, terutama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent. Peningkatan biaya operasional ini berpotensi memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
“Jika tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, negara harus mengalokasikan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN. Ini akan menggerus anggaran APBN yang seharusnya digunakan untuk program-program strategis, termasuk program makan bergizi gratis,” terangnya.
Fahmy menegaskan bahwa mengingat dampak-dampak negatif dari power wheeling yang melanggar konstitusi dan potensi kerugian bagi negara, pasal power wheeling dalam RUU EBET harus dihapus sebelum disahkan. Dia juga mengingatkan bahwa kebutuhan listrik di sektor industri, terutama pertambangan, akan terus meningkat secara signifikan.
“Jika power wheeling diterapkan, perusahaan swasta berpotensi menjual listrik kepada industri pertambangan, yang bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan swasta namun berpotensi mengurangi pendapatan PLN secara drastis,”ungkapnya.
Fahmy mengingatkan bahwa undang-undang terkait power wheeling dalam RUU EBET perlu dipertimbangkan kembali atau bahkan dihentikan jika jelas melanggar konstitusi dan berpotensi merugikan negara. (Red)