
APNI berharap pemerintah dapat segera meninjau ulang kebijakan RKAB, HPM, serta arah hilirisasi agar industri nikel nasional tetap kompetitif dan berkelanjutan di tengah tantangan global.
Satu sisi Meidy menyampaikan apresiasi Indonesia telah menjadi produsen utama nikel dunia (>50 persen pangsa pasar global). Di sisi lain, ekspansi produksi yang agresif tanpa pengendalian telah menciptakan kelebihan pasokan (oversupply) yang menekan harga dan membahayakan kelangsungan usaha pertambangan dan pengolahan nikel.
Ia menyebutkan permasalahan utama terjadinya oversupply tersebut. Pertama, kelebihan kapasitas produksi smelter (HPAL & RKEF). Kedua, permintaan hilir belum mampu menyerap output. Ketiga, harga LME dan SMM turun signifikan.
Kemudian kelima, banyak smelter beroperasi pada kondisi rugi. Keenam, adanya tekanan ESG dari pasar global. Ketujuh, perubahan RKAB dari 3 tahun menjadi 1 tahun, kenaikan PPN, royalti, dan regulasi fiskal belum adaptif.
Meidy mengungkapkan dampak yang ditimbulkan dari permasalah-permasalah di atas, antara lain terjadi penurunan harga jual bijih nikel, bisa menimbulkan ketidaklayakan ekonomi hilir, muncul kesenjangan antara regulasi dan kenyataan pasar, dan eksistensi industri nasional bisa terancam.