Insentif untuk Industri Hilir
Anggawira mengatakan bahwa Aspebindo mendukung wacana Menkeu Purbaya dalam hal pemberian insentif kepada investor atau perusahaan yang ingin membangun proyek transisi energi dari batubara. Seperti pembangunan industri pengolahan dimethyl ether (DME), gasifikasi, metanol, dan produk turunan batubara lainnya.
“Untuk menarik investor masuk ke proyek hilirisasi dan transisi energi dari batubara, insentifnya harus komprehensif dan bankable,” ujarnya.
Disebutkan, upaya-upaya untuk menarik investor antara lain:
“Tanpa kombinasi insentif tersebut, proyek gasifikasi akan selalu ekonominya kalah oleh energi fosil impor,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tersebut.
Selain itu, Anggawira juga mengungkapkan kendala utama perusahaan tambang batubara. Diutarakan, realistisnya ada lima kendala struktural yang masih dihadapi para pelaku hulu. Pertama, ekonomi proyek belum kompetitif. Harga produk hilir sering kalah dibanding LPG atau BBM impor.
Kedua, tingginya kebutuhan capex dan teknologi. Bahkan sebagian besar teknologi masih impor dan mahal.
Ketiga, kepastian pasar dan offtaker yang belum kuat. Karena itu, tanpa kontrak jangka panjang, proyek sulit dibiayai bank.
Keempat, belum optimalnya sinkronisasi kebijakan lintas kementerian terkait urusan fiskal, energi, industri, dan lingkungan.
Kelima, persepsi risiko regulasi jangka panjang. Investor masih khawatir perubahan kebijakan di tengah jalan.
Anggawira menyatakan, bagi Aspebindo, kunci kebijakan BK bukan pada besar atau kecil tarif, melainkan pada desain kebijakan yang konsisten, adil, dan pro industrialisasi.
Jika BK dirancang sebagai bagian dari industrial policy framework yang utuh—bukan pendekatan fiskal jangka pendek—maka BK batubara dan emas justru bisa menjadi instrumen transformasi ekonomi nasional, bukan hambatan investasi. (Syarif)