
Jakarta,corebusiness.co.id-Program hilirisasi batubara yang gaungkan pemerintah masih jalan di tempat. Disebut-sebut besarnya investasi untuk membangun satu industri hilir batubara menjadi kendala utama.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewajibkan tujuh perusahaan pertambangan batubara yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan hilirisasi. Pemberian IUPK sebagai kelanjutan operasi dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Ketujuh perusahan yang diwajibkan melaksanakan hilirisasi, yaitu PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Adaro Andalan Indonesia (AADI), PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.
Kewajiban ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah batubara, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski begitu, ESDM mengakui bahwa saat ini program hilirisasi batubara masih memenuhi sejumlah kendala. Oleh karenanya pihaknya saat ini masih terus melakukan diskusi dengan stakeholder terkait untuk menyelesaikan hal tersebut.
Contoh hilirisasi, PT Arutmin Indonesia mengembangkan proyek metanol dan amonia, PT Kaltim Prima Coal (KPC) proyek metanol, PT Kideco Jaya Agung proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dan produksi amonia dan urea, PT Multi Harapan Utama (MHU) dan PT Tanito Harum proyek semikokas, dan PT Berau Coal proyek metanol .
Menurut Vice President PT Amir Brother Gasification (ABG), Jamil Amir Baduwi, salah satu kendala perusahaan batubara melaksanakan kewajiban hilirisasi adalah persoalan biaya. Karena, proyek hilirisasi batubara membutuhkan biaya besar.
“Untuk membangun pabrik pengolahan row material batubara menjadi dimethyl ether (DME), misalnya, investasinya dari low budgeting 600 juta dolar AS hingga 1 miliar dolar AS untuk tipe pabrik full gasifikasi,” kata Jamil saat menjadi narasumber Aspebindo Talkshow dengan tema “Optimalisasi Gasifikasi Batubara untuk Ketahanan dan Transisi Energi, pada Kamis (17/7/2025), di Jakarta.
Jamil mengatakan, dana yang besar tersebut untuk penyediaan infrastruktur teknologi pabrik pengolahan bahan baku batubara untuk diproses gasifikasi.
“Teknologi gasifikasi tidak menjadi kendala, karena sudah banyak yang proven. Kendalanya adalah biaya untuk penyediaan teknologi tersebut,” ungkapnya.
Ia mengutarakan, teknologi untuk memproses gasifikasi batubara sudah dilakukan sejak perang dunia kedua oleh Jerman, yang mengkonversi batubara menjadi energi untuk bahan bakar kendaraan tempur mereka.
“Gasifikasi sudah dilakukan sejak perang dunia kedua. Seiring perkembangan zaman, teknologi gasifikasi batubara terus mengalami improvisasi. Seperti ketika teknologi itu masuk ke China sekitar tahun 1990-an, setelah mereka menguasai teknologi itu, kemudian dimodifikasi,” tutur Jamil yang lebih dari 20 tahun bekerja sebagai tenaga profesional di bidang pengolahan migas dan gasifikasi batubara di berbagai negara .
Ketika dia bersama rekan mendirikan PT ABG, untuk memenuhi semua kebutuhan gasifikasi batubara, mulai dari tahap awal proyek gasifikasi hingga komersialisasi. PT ABG berperan sebagai Konsultan Manajemen Proyek bagi pemilik pabrik gasifikasi, penyedia teknologi, kontraktor utama, dan EPC (Engineering, Procurement, and Construction).
Kolaborasi Perusahaan
Sementara narasumber Presiden Direktur PT Bumi Etam Chemical (BEC), Rio Supin berpandangan perlunya pemerintah membuat kebijakan untuk meringankan beban yang ditanggung tujuh perusahaan membangun proyek hilirisasi batubara. Untuk diketahui, BEC adalah bagian dari grup PT Bumi Resources Tbk. BEC dirikan tahun 2023 sebagai proyek hilirisasi batubara oleh anak perusahaan Bumi Resources, yakni PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia.
“Misalnya, ada tiga atau empat dari ketujuh perusahaan itu bekerja sama membangun satu industri hilir DME. Saya kira, langkah ini bisa meringankan mereka, sehingga proyek hilirisasi batubara dengan cepat bisa direalisasikan,” terang Rio.
Rio lantas mencontohkan mundurnya Air Product & Chemical Inc (APCI) sebagai investor PTBA dari proyek gasifikasi batubara menjadi DME. Hal ini menyebabkan proyek tersebut terkatung-katung. PTBA sebagai perusahaan pelat merah terus melakukan kajian untuk kelanjutan proyek tersebut, dengan mempertimbangkan sisi keekonomian dan teknologi yang tepat.
“Persoalan yang dihadapi PTBA bersama investornya ini bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintah. Mengapa proyek gasifikasi batubara yang sudah di-groundbreaking ini bisa gagal?” tanya Rio.
Ia menyatakan semangat membangun industri hilir batubara sudah dilakukan grup PT Bumi Resources sejak tahun 2011. Ketika itu perusahaan sudah melakukan studi areal untuk pembangunan industri hilir batubara.
Dalam perjalanannya, perusahaan melakukan refeasibility study untuk proyek gasifikasi batubara menjadi DME di tahun 2017. Kemudian, pada tahun 2020 perusahaan menjajaki kerja sama dengan PTBA untuk membuat produk DME, tapi gagal.
“Tahun 2025, kami melakukan studi proses batubara menjadi metanol. Akhirnya kami memutuskan sudah final, studi kami ditujukan untuk proses pembuatan batubara menjadi metanol. Mudah-mudahan bulan depan semua dokumennya sudah bisa kami selesaikan,” imbuhnya.
Rio memberi bocoran bahwa batubara yang akan diproses menjadi metanol berkalori rendah. Pertimbangan perusahaan, batubara kalori tinggi umumnya digunakan untuk bahan baku energi listrik. Sehingga, batubara kalori rendah bisa memberikan manfaat untuk dikonversi bentuk produk metanol hingga produk turunan lainnya. (Syarif)