
Jakarta,corebusiness.co.id-Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Sekjen HIPMI), Anggawira merespon wacana Presiden Prabowo ingin memangkas 1.000 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi 200-an perusahan dan mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) menempati jabatan direksi.
Anggawira mengungkapkan, realitasnya jumlah BUMN Indonesia saat ini sangat besar, lebih dari 1.000 entitas jika dihitung dengan anak dan cucu usaha. Namun, hanya sebagian kecil yang benar-benar berkontribusi signifikan terhadap negara. Contohnya BUMN energi, tambang, telekomunikasi, dan perbankan.
“Banyak BUMN yang berdiri hanya karena historical reason atau penugasan sektoral tanpa efisiensi bisnis. Sehingga wajar Presiden Prabowo melihat ada kelebihan (overcrowding) dan mengarahkan penyederhanaan agar fokus pada BUMN yang core dan memberi nilai tambah nyata,” kata Anggawira kepada corebusiness.co.id, Kamis (16/10/2025).
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) ini juga mengapresiasi wacana pemangkasan anak-anak usaha dari induk BUMN.
“Langkah pemangkasan anak usaha yang tidak relevan dengan core business induk BUMN patut diapresiasi. Misalnya BUMN migas yang seharusnya hanya fokus pada rantai nilai energi, bukan masuk ke bisnis hotel atau properti. Hal ini akan memperkuat tata kelola, mengurangi inefisiensi, dan menegaskan kembali posisi BUMN sebagai value creator di sektor strategis,” jelasnya.
Namun yang penting, kata dia, pemangkasan jangan sekadar administrasi, melainkan harus berbasis roadmap restrukturisasi yang jelas dan disertai exit strategy yang sehat, apakah nantinya perusahaan tersebut dijual, dilebur, atau dialihkan.
Hal penting lainnya, pemerintah juga harus memperhatikan nasib para karyawan dari perusahaan BUMN yang dipangkas. Ia menekankan, isu ketenagakerjaan harus menjadi perhatian utama. Pemangkasan jumlah BUMN jangan berujung pada PHK massal tanpa solusi.
Anggawira menyebutkan, untuk menghindari PHK massal, pemerintah harus menyiapkan program, seperti skema alih tugas ke BUMN lain yang sejenis. Pemberdayaan melalui koperasi karyawan atau badan usaha baru. Kemudian, program upskilling/reskilling agar mereka bisa masuk ke sektor swasta maupun industri baru.
“Dengan begitu, restrukturisasi tidak hanya efisiensi keuangan, tetapi juga human–centered transformation,” pungkasnya.
Peluang bagi WNA
Menyoal wacana Presiden Prabowo mengizinkan WNA atau ekspatriat bisa menempati posisi direksi BUMN, Anggawira mengutarakan, keijakan ini harus dilihat secara terbuka namun hati-hati.
Dalam konteks globalisasi dan integrasi pasar, ia menilai kehadiran ekspatriat di pucuk BUMN bisa membawa transfer teknologi, praktik manajemen terbaik, dan memperluas akses ke pasar internasional.
Tetapi, sergahnya, ada beberapa prasyarat bagi WNA yang harus dipenuhi. Pertama, WNA hanya untuk ditempatkan di posisi tertentu yang memang butuh keahlian khusus atau akses global.
Kedua, harus ada knowledge transfer program agar SDM lokal bisa naik kelas.
Ketiga, tetap dalam koridor kepentingan nasional.
“Ekspatriat tidak boleh mengendalikan kebijakan strategis yang menyangkut kedaulatan energi, pangan, dan pertahanan,” Anggawira mencontohkan.
Anggawira berpandangan, dibukanya pintu bagi ekspatriat menempati kursi direksi BUMN, bukan soal ketidakmampuan WNI, tapi lebih kepada untuk memperkaya kompetensi.
Ia menegaskan, “Faktanya, banyak WNI mampu memimpin BUMN besar dengan prestasi. Namun di era kompetisi global, membuka ruang ekspatriat bisa menjadi strategi pragmatis untuk mempercepat lompatan. Jadi, ini lebih soal partnership for growth, bukan karena WNI tidak mampu.”
Anggawira mengatakan, tentu ada hikmah yang dapat dipetik di balik permintaan Presiden Prabowo kepada Danantara untuk memangkas dan mempersilakan ekspatriat menempati pucuk direksi.
Disebutkan, hikmah pertama, mendorong efisiensi dan memperbaiki tata kelola BUMN.
Kedua, memastikan BUMN fokus pada perannya sebagai penggerak ekonomi strategis, bukan pemain serabutan.
Ketiga, membuka kesempatan transfer ilmu dan jejaring global melalui ekspatriat.
Keempat, menguatkan pesan bahwa BUMN harus sehat secara bisnis, bukan sekadar instrumen politik atau birokratis
Menurutnya, kebijakan Presiden Prabowo ini jika dieksekusi dengan tepat bisa menjadi momentum reformasi besar-besaran bagi BUMN: lebih ramping, lebih fokus, lebih kompetitif, dan lebih berdaya guna bagi rakyat.
Namun, harus diperhatikan pula tantangan sebelum kebijakan ini dieksekusi.
“Tantangannya adalah, bagaimana memastikan transisi berjalan dengan good governance, menjaga nasib karyawan, dan memastikan kepemimpinan ekspatriat tetap dalam kerangka kepentingan nasional,” tuturnya. (Rif)