Selain itu, penggugat—dalam hal ini Kementerian Pertanian—juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 240 ribu.
Humas PN Jakarta Selatan, Asropi, membenarkan putusan tersebut. Ia mengatakan salinan putusan akan tersedia di sistem e-court setelah ditandatangani panitera.
“Jika tidak ada kendala, para pihak bisa mengunduh putusan hari ini,” ujarnya.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum Tempo menegaskan bahwa perkara tersebut merupakan sengketa pers yang harus diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena itu, menurut tim hukum Tempo, penyelesaiannya berada di bawah kewenangan Dewan Pers, bukan peradilan umum.
Tim kuasa hukum juga menilai penggugat belum menempuh prosedur yang diatur dalam UU Pers, seperti penggunaan hak jawab, hak koreksi, maupun pelaporan resmi ke Dewan Pers.
Direktur Eksekutif LBH Pers yang juga kuasa hukum Tempo, Mustafa Layong mengatakan, dari bukti awal dan keterangan dari ahli pers yang dihadirkan pada sidang sebelumnya, majelis hakim memutus perkara secara bijak dan mengembalikan proses perselisihan ini ke Dewan Pers.
“Sebab proses Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) belum selesai dan wajib dinilai oleh Dewan Pers pelaksanaannya,” kata Mustafa kepada corebusiness.co.id.
Ia menilai gugatan ini ada indikasi sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yang digunakan oleh pihak berkuasa untuk membungkam atau mengintimidasi individu atau organisasi, misalnya aktivis, jurnalis, yang menyuarakan pendapat kritis terhadap isu publik atau lingkungan.
Gugatan ini sering kali tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi diajukan untuk membebani target dengan biaya hukum dan menguras energi serta waktu mereka.
“Gugatan uang (Rp 200 miliar) terhadap Tempo dilakukan secara tidak beritikad baik, melainkan untuk menyusahkan dan menghambat kemerdekaan pers,” tukas Mustafa. (Rif)