
BEBERAPA regulasi perdagangan antarnegara yang dibuat Pemerintah Indonesia disorot Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Salah satunya terkait penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di beberapa sektor. Buntutnya, Indonesia ikut kena tarif timbal balik impor ke AS sebesar 32 persen.
Presiden Prabowo bereaksi. Dia menginstruksikan agar aturan mengenai TKDN diubah dan dibuat lebih fleksibel.
Menurut Prabowo, ketentuan TKDN yang dipaksakan justru membuat Indonesia kalah kompetitif dengan negara lain.
“Kita harus realistis, TKDN dipaksakan, ini akhirnya kita kalah kompetitif. Saya sangat setuju, TKDN fleksibel saja, mungkin diganti dengan insentif,” kata Prabowo dalam acara Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, pada 8 April 2025.
Prabowo lantas mengintruksikan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto untuk mengubah aturan TKDN. Dia meminta aturan dibuat lebih realistis agar tidak membebani industri dalam negeri, meski TKDN mulanya ditujukan sebagai bentuk nasionalisme.
Bagi pelaku usaha nasional, penerapan TKDN harus benar-benar memberikan manfaat bagi perusahaan.
“Intinya adalah tujuan TKDN ini apa? Memang betul suatu produk harus menggunakan komponen dalam negeri. Namun, kelanjutannya harus diperhatikan manfaat bagi perusahaan ketika produknya menerapkan TKDN,” kata Marketing Direktor PT International Chemical Industry (Intercallin atau ICI), Hermawan Wijaya kepada corebusiness.co.id.
Sebagai informasi, Intercallin atau ICI merupakan pelopor dalam industri baterai di Indonesia. Baterai ABC Carbon Zinc dan Alkaline merupakan contoh produk ICI yang menguasai pasar baterai primer di Indonesia.
Tahun 2019, ICI melakukan ekspansi dengan memproduksi Lithium Ion Battery Cell dan Lithium Ion Battery Pack dengan brand ABC Lithium untuk berbagai jenis kendaraan listrik dan energy storage system (ESS)
Baterai ABC Carbon Zinc dan Alkaline yang banyak diterima pasar Indonesia adalah ukuran AA dan AAA. Hingga kini baterai ABC Carbon Zinc dan Alkaline yang telah diproduksi ICI berjumlah miliaran butir tiap tahunnya.
Tahun 2022, ICI memproduksi 1 juta butir Lithium Ion Battery Cell untuk kebutuhan kendaraan listrik. Dalam hal industri baterai berbasis Lithium Ferro Phosphate (LFP), ICI merupakan pelopor di Indonesia. Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) menyatakan ICI merupakan perusahaan murni 100 persen PMDN pertama yang memproduksi baterai lithium di Indonesia.
“Produk baterai brand ABC sudah mendapatkan sertifikat TKDN dari lembaga verifikasi TKDN,” ujar Hermawan.
Sebagai perusahaan yang benar-benar murni PMDN, ICI terus berupaya ikut berkontribusi di pasar Indonesia. Meskipun diakui Hermawan kompetisi di industri baterai, khususnya untuk produk berbasis lithium sangat kompetitif. Sementara baterai LFP ABC baru diproduksi tahun 2022, masih kalah usia dibandingkan produsen baterai LFP dari negara-negara lain yang sudah memproduksi puluhan tahun silam, seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Amerika Serikat.
Lantas, apakah kebijakan penerapan TKDN dirasakan manfaatnya dalam pengembangan produk baterai ABC?Hermawan menjawab salah satu pertanyaan tersebut dalam sebuah sesi wawancara dengan corebusiness.co.id. Berikut petikannya:
Pemerintah telah mengeluarkan pelbagai regulasi tentang penerapan TKDN. Cukup membantu bagi ICI?
Bicara TKDN, kebijakan ini salah satunya untuk memberikan penilaian terhadap suatu produk dalam menggunakan lokal konten. Menurut saya, peraturan penerapan TKDN juga harus mempertimbangkan azas manfaat bagi perusahaan. Karena, selama penerapan TKDN ini tidak ada manfaat bagi perusahaan atau produsen, ya tidak ada gunanya.
Intinya adalah tujuan TKDN ini apa? Memang betul suatu produk harus menggunakan lokal konten, kelanjutannya harus diperhatikan manfaat bagi perusahaan ketika produknya menggunakan komponen lokal konten.
Salah satu tujuan TKDN untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Pandangan Anda?
Jika industri dalam negeri sudah kuat, tidak ada TKDN pun tidak masalah. Perspektif saya, TKDN ini agar memaksa untuk menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
Jika masyarakat Indonesia sendiri tidak peduli dengan kandungan TKDN terhadap suatu produk, maka ketentuan ini tidak efektif. Misalnya, dengan berbagai pertimbangan tertentu masyarakat lebih membeli produk impor. Apalagi produk impor tersebut harganya lebih murah, dibandingkan produk yang sama dan ada unsur TKDN.
Manfaat penerapan TKDN ini tergantung marketnya, apakah market umum atau khusus. Jika produk yang menggunakan komponen TKDN pembelinya pemerintah, maka akan ada manfaat bagi perusahaan. Misalnya, penyediaan senjata atau alutsista yang memang dibutuhkan oleh negara.
Jika perusahaan membuat senjata, dia akan senang ada manfaat, karena sudah pasti dibeli oleh pemerintah. Ini contoh market khusus.
Jika marketnya umum, semuanya tergantung selera atau pilihan dari konsumen. Toh, barang legal apapun dari negara lain boleh-boleh saja masuk ke Indonesia.
Jadi, konsumen bisa memilih membeli barang yang komponennya full 100 persen buatan negara lain. Karena, di Indonesia tidak ada hukuman bagi konsumen yang membeli produk impor.
Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengubah pendekatan penerapan TKDN dari kewajiban dengan pemberian insentif. Tanggapan Anda?
Pemberian insentif ini cukup baik, khususnya dari sisi konsep dan cara kerjanya, karena dikaitkan dengan skala nilai tertentu dalam penerapan TKDN dari suatu produk dan jasa.
Kebijakan ini menjadi sangat baik, dengan dibentuknya lembaga verifikasi yang ditunjuk oleh Kemenperin, yaitu Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Barang Teknik (BBSPJIBBT), Sucofindo, dan Surveyor Indonesia. Lembaga ini diberikan mandat melakukan verifikasi TKDN dan menghitung persentase komponen dalam negeri dalam suatu produk atau jasa.
Bagi perusahaan yang ingin mendapatkan insentif, maka produknya harus memiliki sertifikat TKDN. Kandungan TKDN-nya minimum 40 persen.
Hanya saja, dikhawatirkan ada perusahaan nakal. Ketika ingin diverifikasi TKDN, bisa saja oknum perusahaan itu membuat beberapa contoh produk. Ketika produk itu dipasarkan dalam jumlah besar, apakah semua produk itu benar-benar menerapkan 40 persen komponen dalam negeri.
Maka, pengawasannya perlu diperketat lagi. Untuk produk yang ingin dipasarkan, harus diperiksa satu per satu oleh lembaga verifikasi sesuai urutan nomor seri produk tersebut. Tujuannya, untuk memastikan barang tersebut benar-benar menerapkan komponen dalam negeri atau tidak.
Jika langkah ini dilakukan, maka akan memberikan manfaat bagi perusahaan yang benar-benar menjaga kredibilitas perusahaannya.
Mekanisme perusahaan untuk mendapatkan sertifikat TKDN terhadap suatu produk?
Perusahaan mengajukan ke pemerintah untuk dilakukan verifikasi terhadap barang yang diproduksi perusahaan tersebut.
Saya kira, TKDN perlu juga didorong untuk barang yang diproduksi oleh perusahaan skala menengah ke bawah. Perusahaan-perusahaan skala ini sangat membutuhkan bantuan pemerintah.
Untuk perusahaan yang sudah kuat, bisa diberikan bantuan dalam bentuk lain, misalnya dukungan non-fiskal.
Tanggapan Anda soal industri otomotif dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan untuk produk dan jasa yang akan menerima insentif dalam penerapan TKDN?
Menurut saya, klasifikasi penerapan TKDN diarahkan lebih sektoral. Misalnya, untuk otomotif, diklasifikasi lagi untuk kategori pengadaan komponen kendaraan listrik. Hal ini sesuai dengan program pemerintah, di mana tahun 2017 dikeluarkan peraturan mengizinkan ekspor bijih nikel dengan kadar tertentu.
Kemudian di tahun 2019, pemerintah mengeluarkan Perpres No.55 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Selanjutnya, di tahun 2020 pemerintah secara total melarang ekspor bijih nikel. Larangan ekspor row material juga diberlakukan untuk komoditi bauksit di tahun 2023.
Larangan ekspor ini bertujuan mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Komoditas mineral diizinkan diekspor jika sudah diolah di smelter dalam negeri, minimal sudah berbentuk produk setengah jadi.
Bagaimana dengan peraturan TKDN untuk komponen kendaraan listrik?
Menteri Perindustrian telah menerbitkan Permenperin Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur spesifikasi, peta jalan pengembangan, dan penghitungan nilai TKDN untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Saya melihat ada perhatian serius dari pemerintah dalam mendukung tumbuhnya industri yang memproduksi komponen kendaraan listrik.
Permenperin itu memuat pasal tersendiri untuk masing-masing komponen kendaraan listrik. Di antaranya ada pasal yang mengatur untuk baterai. Disebutkan, sel baterai hingga proses packaging-nya dibuat di Indonesia, akan diberikan nilai TKDN 100 persen.
Jika kita bicara WNI yang membangun PMDN 100 persen, selain PT ICI , hingga saat ini kita masih belajar dan belum menghasilkan karya nyata membuat industri sel baterai, termasuk sel baterai lithium untuk penggunaan lain.
Saat ini yang membangun industri sel baterai di Indonesia adalah orang asing melalui PMA. Sekarang, apakah pemerintah punya keberpihakan kepada PMDN?
Menurut Anda?
Pemerintah perlu juga membuat ketentuan secara spesifik untuk pembangunan industri atau manufaktur sel baterai berasal dari PMDN. Tujuannya, untuk mendorong pengusaha nasional bisa membangun industri baterai di negerinya sendiri.
Di Indonesia, orang asing atau PMA memang diperbolehkan membangun industri atau manufaktur. Termasuk orang asing diizinkan membangun UMKM di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah pemerintah mau memberikan keberpihakan lebih dari sekadar banyak perusahaan atau industri terbangun di Indonesia?
Di sisi lain, jika pemerintah mendorong pengusaha nasional untuk ikut berkontribusi di industri atau manufaktur baterai atau kendaraan listrik, maka ketentuan TKDN tidak bisa diterapkan.
Memang sudah dibunyikan ketentuan TKDN, seperti mesinnya yang dibeli produk lokal hingga kepemilikan lokal, namun nilainya kecil. Jika peran pengusaha nasional diberikan porsi kepemilikan lebih besar, maka harus dibuat aturan mainnya dalam bentuk peraturan. Misalnya, pemberian insentif.
Pemberian insentif ini dalam bentuk apa saja?
Pemerintah bisa saja memberikan insentif non-fiskal. Misalnya, dibuat batasan PMA yang membangun industri di Indonesia dengan kepemilikan maksimal 50 persen, selebihnya kepemilikan PMDN. Sehingga, mau tidak mau pengusaha nasional dipaksa ikut terlibat dalam membangun industri dalam negeri. Sangat disayangkan pengusaha WNI lebih memilih membangun perusahaan atau industri di negara lain, dibandingkan membangun di negerinya sendiri.
Apabila mayoritas perusahaan industri di Indonesia dengan kepemilikan 100 persen di pihak asing, jangan sampai sekian tahun kemudian muncul aksi demo karena mayoritas bisnis di Indonesia dikuasai asing, atau Indonesia dijajah asing. Karena apa? Pemerintah kurang maksimal membuat dukungan untuk keikutsertaan pengusaha pengusaha nasional dan lokal dalam proyek-proyek bisnis atau kepemilikan perusahaan di Indonesia. (Syarif)