
Sejalan dengan negara-negara lain, Indonesia juga mengintegrasikan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023).
Bursa karbon di Indonesia, yang dikenal sebagai IDX Carbon, memperkenalkan unit karbon sebagai efek, berbeda dengan bursa internasional yang menganggapnya sebagai komoditas. Ini memungkinkan pengelolaan unit karbon sebagai efek yang dapat dijual kembali dalam bentuk derivatif, meskipun hal ini bertentangan dengan prinsip ‘retired carbon’, di mana unit karbon seharusnya digunakan sekali untuk mengurangi emisi.
Meskipun bursa karbon sudah diimplementasikan, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti status unit karbon sebagai efek atau komoditas. Selain itu, peraturan saat ini belum sepenuhnya mampu mengatasi tantangan seperti double counting dan manipulasi pengukuran unit karbon, yang dapat mengurangi integritas dan kepercayaan pasar karbon.
Berdasarkan POJK 14/2023, perdagangan unit karbon dari luar negeri dapat difasilitasi oleh penyelenggara bursa karbon, namun hal ini membuka peluang double counting, di mana unit karbon yang sama dapat dihitung oleh dua entitas berbeda untuk tujuan pengurangan emisi mereka. Kasus double counting pernah terjadi pada bursa karbon Uni Eropa pada tahun 2010, yang mengakibatkan bursa ditutup sementara dan regulasi diubah.
Ketentuan Penyelenggaraan Bursa Karbon
Artikel tersebut juga menyebutkan penyelenggaraan Bursa Karbon di Indonesia dilakukan atas pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dilaksanakan oleh penyelenggara pasar yang mendapatkan izin dari OJK yaitu PT BEI melalui IDX Carbon. Pada prinsipnya, transaksi yang dilaksanakan pada IDX Carbon yaitu merupakan perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.