Jakarta,corebusiness.co.id– Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Melati Sarnita menyampaikan progres dan proyeksi penambahan produksi aluminium. Di antaranya target pengoperasian Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 2 pada 2028, dan persiapan ekspansi smelter aluminium di Kuala Tanjung melalui pembangunan potline keempat.
Proyek SGAR 2 merupakan ekspansi dari proyek SGAR fase 1 berlokasi di Mempawah, Kalimantan Barat, yang memiliki kapasitas produksi alumina 1 juta ton per tahun. Proyek SGAR 2 juga ditargetkan dapat memproduksi alumina 1 juta ton per tahun.
Melati menerangkan, Inalum merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertama dan terbesar yang bergerak dalam peleburan aluminium. Saat ini Inalum beroperasi dengan mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura dan PLTA Tangga di Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara, dengan kapasitas desain 603 megawatt (MW).
“Inalum mengoperasikan Smelter Kuala Tanjung dengan total kapasitas produksi 275 ribu ton tahun 2025, dengan kapasitas terpasang 155 ribu ton ingot per tahun, 30 billet per tahun, dan 90 ribu ton foundry alloy per tahun,” kata Melati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (20/11/2025).
Sejak beroperasi tahun 1976, kemudian menjadi BUMN tahun 2013, hingga menjadi anak usaha MIND ID tahun 2023, saat ini Inalum diarahkan menjadi perusahaan aluminium terintegrasi yang profitable bertaraf internasional.
Target Inalum 5 tahun ke depan, disebutkan Melati, dari 275 Kilo Tonnes per Annum (KTPA) untuk aluminium smelter, di tahun 2029 diharapkan bisa meningkatkan kapasitas produksi menjadi 900 KTPA untuk produk aluminium–dengan didukung 2 juta ton alumina dari proyek SGAR 1 dan 2.
Melati mengatakan, Inalum memiliki empat anak perusahaan. Pertama, PT Bornei Alumina Indonesia (PT BAI), bergerak di refinery alumina dengan target kapasitas produksi 1 juta ton di tahun 2026. Kedua, PT Indonesia Aluminium Alloy (PT IAA), bergerak di aluminium sekunder, yaitu memproduksi campuran aluminium primer dengan scrap. Ketiga, PT Sinergi, bergerak di bidang waste management dan logistik. Keempat, PT Indonesia Battery Corporation (PT IBC), perusahaan terintegrasi hulu-hilir yang memproduksi baterai untuk kendaraan listrik.
Melati memperkirakan, konsumsi aluminium di Indonesia akan naik 600 persen dalam 30 tahun ke depan, terutama didorong oleh perkembangan sektor industri baterai untuk kendaraan listrik dan energi terbarukan.
“Saat ini pangsa pasar Inalum masih 46 persen untuk domestik. Sisanya, 54 persen merupakan impor. Sehingga, percepatan pembangunan smelter dan refinery menjadi sangat krusial. Tujuannya, untuk menekan ketergantungan (Indonesia) terhadap impor aluminium dan memperkuat rantai pasok nasional,” terangnya.
Kebutuhan Listrik
Melati melanjutkan, Inalum dan MIND ID telah menyiapkan road map secara komprehensif dari hulu hingga hilir untuk rantai pasok aluminium. Saat ini, bauksit, sebagai bahan baku aluminium, masih disuplai PT Aneka Tambang (Antam) sebagai sister company Inalum.
“Ke depan, MIND ID memandatori Inalum untuk membuka diri bisa masuk ke ranah tambang bauksit. Tujuannya, untuk memastikan supply chain dari bauksit ke aluminium bisa dicapai secara independen,” ujarnya.
Melati mengatakan, saat ini bahan baku bauksit diproses di SGAR fase 1 dengan kapasitas 1 juta ton alumina, dan ditargetkan COD-nya pada akhir 2025. Kemudian, SGAR fase 2 produksinya juga ditargetkan 1 juta ton alumina.
Ia memperkirakan kebutuhan listrik untuk menggerakkan operasional SGAR fase 1 dan SGAR fase 2 sekitar 932 MW.
“Perkiraan kami kebutuhan listriknya 932 MW. Kapasitas hitungan kita saat ini internally kapasitas terpasang itu 1,2 gigawatt (GW), karena harus ada satu unit yang standby untuk memastikan availability 100 persen selama 360 hari per tahun,” paparnya.
Menurutnya, musuh terbesar dalam mengoperasikan smelter adalah listrik padam. Sebab, jika pasokan listrik terhenti smelter tidak dapat melakukan pemulihan atau recovery. Karena itu, ia berharap dukungan penuh terkait pasokan listrik.
Melati juga menyampaikan bahwa unit pembangkit listrik untuk proyek ini sejatinya tidak termasuk dalam capex Inalum. Sehingga, perusahaan hanya bergantung pada pasokan listrik yang berasal dari PLN atau Independent Power Producer (IPP). Karena Inalum ingin pembangunan pembangkit itu bisa menjadi captive source untuk smelter.
Selain proyek di Kalbar, perusahaan juga menyiapkan ekspansi smelter aluminium di Kuala Tanjung melalui pembangunan potline keempat. Menyoal kebutuhan listrik untuk wilayah ini sepenuhnya bergantung pada kapasitas produksi.
Misalnya saja pada 2029, tambahan listrik yang dibutuhkan mencapai 209 MW, bersamaan dengan beroperasinya new potline. Kemudian pada 2030 kebutuhan pasokan listrik naik menjadi 232 MW menyusul upgrade potline ketiga.
Melati mengestimasi, ketika smelter itu kapasitas produksinya mencapai di 520 ribu ton, maka kebutuhan listrik menjadi 406 MW. Tapi angka ini, menurutnya, berdasarkan kenaikan dari 275 menjadi 520, subject to availability listrik di Sumatera Utara. (Rif)