160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
750 x 100 PASANG IKLAN

Bob S. Effendi: ThorCon Solusi Praktis Transisi Energi bagi PLN

Direktur Operasi PT ThorCon Power Indonesia, Bob S. Effendi
750 x 100 PASANG IKLAN

PT ThorCon Power Indonesia adalah satu-satunya perusahaan nuklir yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan sedang menawarkan Pemerintah Indonesia membangun Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir (PLTN) pertama di Indonesia, dan sudah mempersiapkan anggaran Rp 17 triliun tanpa ABPN. ThorCon menawarkan harga jual listrik ke PLN Rp 1.000 per kWh atau di bawah 7 cent.

PT ThorCon Power Indonesia mendapat sambutan baik dari Pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya perusahaan nuklir yang beroperasi di Indonesia dalam pembangunan PLTN dengan investasi swasta tanpa APBN. Korporasi berharap rekomendasi dari pemerintah kepada ThorCon untuk mempersiapkan pelaksanaan proyek PLTN berbasis Molten Salt Reactor 2×250 MW (“TMSR500 atau Kelasa-1”). Rencana proyek PLTN ini akan dibangun di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, dan digadang-gadang sebagai calon PLTN pertama di Indonesia.

Di balik rencana ThorCon membangun PLTN, muncul pertanyaan dari banyak orang bahwa PLTN merupakan opsi terakhir dalam ketentuan Dewan Energi Nasional (DEN). Direktur Operasi PT ThorCon Power Indonesia, Bob S. Effendi tidak menafikan pertanyaan tersebut.

“Memang benar, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), PLTN berada di opsi terakhir. Namun demikian, ketika kami membaca penjelasan PP No.79 Tahun 2014, dinyatakan sebagai opsi terakhir tidak sebagaimana penafsiran kebanyakan orang atau media massa bahwa  nuklir digunakan setelah energi yang lain mau habis,” kata Bob S. Effendi.

750 x 100 PASANG IKLAN

Bob mengemukakan, penjelasan frasa “opsi terakhir” adalah, bilamana ada kepentingan mendesak, maka nuklir dapat dimanfaatkan. Kepentingan mendesak, seperti saat ini untuk memenuhi kebutuhan net zero emission (NZE). Tanpa NZE, energi nuklir jelas tidak mungkin terjadi.

“Sebenarnya frasa “opsi terakhir” kalau mengacu kepada PP No.79 Tahun 2014 adalah sudah terpenuhi,” ucapnya.

Seiring pemerintah meluncurnya target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060, kasak-kusuk untuk mengkaji dan membedah beleid di dalam PP No.79 tentang KEN sudah mulai kentara, persisnya di tahun 2019. Apa pasal? PP No.79 Tahun 2014 tertuang ketentuan energi andalan utama adalah berbasis batubara. Sementara Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan mengurangi dekarbonisasi.

Ketika pembangunan PLTU berbasis bahan baku batubara “disuntik mati” karena bersinggungan dengan target NZE, maka harus dilakukan revisi PP No. 79 Tahun 2014 tentang KEN.

“Jadi, hampir semua energi yang digunakan di Indonesia pada tahun 2060 adalah berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, kadang orang suka lupa singkatan dari E-B-T, huruf B itu adalah energi baru berbasis hidrogen, gas, nuklir, dan diversifikasi batubara,” tutur Bob.

750 x 100 PASANG IKLAN

Karena ada kepentingan untuk mencapai NZE dan mem-face out batubara, pemerintah harus merevisi regulasi KEN. Di dalam revisi ini, pemerintah melakukan berbagai simulasi. Ternyata, dari berbagai simulasi, baik yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, DEN, termasuk PLN, tidak ada skenario dan modelling yang menolak energi berbasis nuklir. Jadi, tetap ada nuklir.

Bob S. Effendi memperlihatkan maket proyek PLTN yang akan dibangun ThorCon di Pulau Gelasa di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung.

“Untuk mencapai NZE tanpa adanya energi berbasis nuklir, kita berpikir sederhana saja. Di dalam struktur pembangkit tenaga listrik harus ada baseload (beban listrik dasar), yang menjamin minimum beban (load) dari sebuah demand, kondisinya harus stabil. Sekarang kan disupply dari fosil, khususnya dari batubara, porsinya sekitar 70 persen. Di bawah batubara, ada supply energi dari gas dan diesel yang dikembangkan di pulau-pulau kecil di Indonesia,” terangnya.

Ketika batubara sebagai baseload diganti, Bob berpandangan, yang menggantikan tidak mungkin bergantung kepada sumber energi berbasis dari cuaca. Karena, cuaca kondisinya naik turun, tidak bisa dipastikan. Sementara listrik tidak bisa disimpan. Jadi, antara supply dan demand harus matching.

Menurut Bob, sebenarnya jika kita berpikir secara jernih, ketika baseload fosil hilang, maka penggantinya harus baseload yang juga andal, kemudian murah, dan pembangkit listrik itu bisa dibangun yang mendekati beban listrik dasar.

750 x 100 PASANG IKLAN

Baseload sebenarnya ada dari energi tidak intermittent, selain geothermal dan hydro. Masalahnya, harga listrik dari geothermal mahal, tidak bisa bersaing dengan batubara. Sementara listrik dari hydro murah, namun pembangkit listrik geothermal dan hydro tidak bisa dibangun di mana saja. Pembangkit listriknya harus dibangun di sekitaran sumber energi tersebut. Geothermal harus dibangun di gunung, hydro harus di sungai.

Antisipasinya, bagi daerah-daerah yang tidak ada gunung atau minim arus hydro, berarti harus dibangun transmisi-transmisi untuk mengalirkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik dari geothermal dan hydro.

Bob berpandangan, atas dasar pertimbangan andal, murah, dan pembangkit listrik bisa dibangun di mana saja, maka pilihannya hanya pembangkit listrik berbasis nuklir. Tidak ada yang lain lagi.

Atas pertimbangan itu pula, lanjutnya, dalam sebuah skenario penyediaan listrik akan melibatkan nuklir. Yang membedakan hanya dipersentasinya saja. DEN memasukkan porsi energi listrik dari nuklir sebesar 11 persen, sementara ESDM di dalam RUU KEN sekitar 7 persen. Meski demikian, tetap ada nuklir.

“Karena tetap harus ada nuklir, dan harus face out batubara, maka di dalam kebijakan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN,” tukasnya.

Dalam perjalanannya, RPP KEN sudah disetujui Komisi VII DPR RI, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, pada 6 September 2024. Saat ini RUU tersebut sudah ada di meja Presiden Jokowi. Karena RUU KEN diserahkan jelang masa kepemimpinan Presiden Jokowi, Bob menduga sampai saat ini RUU tersebut belum ditandatangani Presiden. Dia berharap Presiden Prabowo Subianto segera menandatangani RPP KEN.

“Kami menilai Presiden Prabowo sangat mendukung energi listrik dari nuklir. Bahkan beliau sudah menyatakan melalui adiknya, Hashim Djojohadikusumo bahwa dalam masa sepuluh tahun, Indonesia akan mempunyai PLTN. Kabar ini tentu menggembiarakan bagi kami. Karena, hanya Presiden Prabowo yang berani mengatakan Indonesia akan mempunyai PLTN. Sebelumnya, Presiden Soekarno pada tahun 1952 sudah menyatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara besar, maka harus menguasai nuklir,” urai Bob.

RPJPN 2025-2045 Akomodir Energi Nuklir

Sambil menunggu RPP KEN ditandatangani Presiden Prabowo menjadi PP, masih menurut Bob, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Dalam undang-undang ini ada pembagian tahapan pembangunan nasional dibagi per lima tahunan. Ada  tahap pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Tahap pertama 2025-2030, tahap kedua 2030-2035, tahap ketiga 2035-2040, dan tahap keeempat 2040-2045.

 

Di dalam UU No.59 Tahun 2024 mengamanatkan bahwa PLTN pertama beroperasi di antara periode tahun 2030-2034. Hal ini sesuai dengan KEN, yang mengamatkan pemerintah menargetkan PLTN mulai tersambung ke transmisi (on grid) mulai tahun 2032 sebesar 250 megawatt (MW). Kemudian, di dalam RPJPN 2025-2045 pada tahap ketiga, bahasanya ekspansi PLTN untuk penambahan kapasitas listrik PLN.

Bob mengutarakan, RPP KEN juga menyatakan target total tambahan listrik PLTN menjadi 8 Giga Watt (GW) di tahun 2040. Selanjutnya di tahap keempat antara periode tahun 2040-2045, dinyatakan akan dilaksanakan pengembangan kemandirian PLTN.

“Artinya, kemandirian PLTN adalah membangun industri nuklir. Kebijakan ini sangat baik. RPJPN memberikan sebuah jalan menuju industri nuklir,” tegasnya.

Bob mengutip pernyataan dari Bappenas, yakni ketika kita mendeklarasikan go nuclear, sebenarnya ada dua arah. Pertama, Indonesia hanya sebagai pengguna PLTN. Kedua, Indonesia membangun industri PLTN.

Dirinya mencontoh Korea Selatan, sekarang sudah bisa mengekspor PLTN. PLTN di Uni Emirat Arab yang bangun adalah Korea Selatan. Negara ini berhasil membangun PLTN selama 20 tahun, setelah PLTN pertama yang dibangun oleh Amerika Serikat (AS).  Jika Indonesia mulai membangun PLTN tahun 2032 untuk mendukung NZE di tahun 2060, menilik target KEN porsi nuklir 11 persen, maka harus terbangun daya 53 GW. Daya 53 GW itu, bisa dipenuhi dari 150 PLTN.

“Sekarang masih zero, mosok dari target pembangunan 150 PLTN, Indonesia tidak mampu membangun 100 PLTN. Padahal, rentang waktunya masih 38 tahun dari sekarang. Korea Selatan selama 20 tahun sudah bisa membangun PLTN sendiri,” imbuhnya.

Bob kembali mengutip pernyataan Bappenas, jika mengacu kepada UU RPJPN, Indonesia jangan hanya menjadi pengguna PLTN saja. Karena industri yang ada saat ini masih minim mengolah sumber daya alam menjadi nilai tambah. Karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu tumbuh di atas 5 persen.

Untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia dari 5 persen menjadi 8 persen seperti ditargetkan Presiden Prabowo, industri harus banyak tumbuh di Indonesia. Khususnya, industri yang mempunyai nilai tambah.

Bob mengibaratkan, “Bayangkan, kalau kita melakukan pengadaan PLTN, maka tidak akan terjadi nilai tambah. Indonesia dominan sebagai pengimpor PLTN.”

Pria berkacamata ini menekankan, RPJPN sebenarnya sudah memberikan satu arah untuk pembangunan PLTN di Indonesia. Sehingga, dari sisi regulasi sebenarnya pemerintah sudah tepat. Yang terpenting sekarang adalah proyek pembangunan PLTN. Tanpa ada proyek pembanguan PLTN, maka semua akan mengambang.

Teruji vs belum Teruji

ThorCon masih berharap RPP KEN ditandatangani Presiden Prabowo, meskipun masih ada payung hukum UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045. Namun, ThorCon masih dapat sandungan, ketika perusahaan ini sudah menyanggupi membangun PLTN, muncul  kegundahan dampak limbah atau radiasi yang akan dimunculkan dari PLTN. Isu lainnya, teknologi reaktor nuklir yang dibangun di Indonesia harus sudah proven.

ThorCon Power Indonesia berharap Presiden Prabowo Subianto menandatangani RPP KEN menjadi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mendukung NZE tahun 2060.

Bob memaklumi, ThorCon masih dalam tahap pengembangan teknologi nuklir. Dia hanya memberikan klarifikasi bahwa semua isu yang muncul ke publik adalah berkaitan dengan persyaratan pembangunan PLTN, yang sebenarnya sudah ditangani oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).

“Jadi, pemerintah tidak usah mikirin persyaratan. Karena semua perusahaan nuklir, termasuk ThorCon harus memasukkan persyaratan yang sama sesuai ketentuan BAPETEN,” pungkasnya.

Ia lantas memberikan pandangan dari sisi isu-isu strategis yang memang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat, yakni harga listrik dari PLTN ke PLN berapa, berapa besaran lokal konten, transfer teknologi, hingga dampak industri PLTN bagi perekonomian masyarakat.

“Itulah yang saya maksud isu-isu strategis. Di sinilah terjadi misleading-nya. Hal ini harus diluruskan,” jelasnya.

Mengenai keraguan pemerintah terhadap ThorCon yang belum teruji untuk membangun PLTN, Bob menilai seolah-olah asumsi ini berkaitan dengan keselamatan setelah terbangunnya PLTN. Dan, seolah-olah perusahaan nuklir yang sudah teruji sudah pasti aman. Seolah-olah perusahaan nuklir yang belum teruji masih “kucing dalam karung”.

“Jika narasi itu benar, maka musibah PLTN Fukushima-Daiichi (FDNPS) tidak akan terjadi. PLTN di Fukushima sudah teruji. Di dunia, orang tidak melulu bicara sudah teruji atau belum teruji. Bahkan di BAPETEN isunya bukan soal teruji atau belum teruji, namun lebih kepada persiapan pembangunan PLTN. Dari sisi regulasi sudah tepat, dan BAPETEN tidak mempersalahkan hal tersebut. Kami menduga yang mempermasalahkan isu-isu kekhawatiran tersebut adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang nuklir,” urainya.

Baik perusahaan nuklir yang sudah teruji atau belum teruji, atau ditafsirkan Bob perusahaan yang sudah komersial dan belum komersial, tanpa kecuali kedua klasifikasi perusahaan ini harus melalui tahapan proses perizinan yang sama.

Bob S. Effendi memperlihatkan beberapa penghargaan yang diraih ThorCon Power Indonesia

Masalahnya, ungkap Bob, PLTN yang sudah teruji adalah rata-rata berbasis air ringan yang sekarang sudah beroperasi di dunia harganya mahal, antara 12 cent sampai 13 cent. Sementara ThorCon menawarkan harga jual listrik ke PLN bersaing dengan harga batubara, sekitar Rp 1.000 per kWh atau di bawah 7 cent, sekitar 6,9 cent. Jika dirupiahkan sekitar Rp 1.100 per kWh.

Dari harga jual listrik Rp 1.000 per kWh, untuk tarif daftar listrik (TDL) Rp 1.400 per kWh, berarti pemerintah tidak perlu memberikan subsidi listrik ke masyarakat. Jika PLTN-PLTN yang dibilang sudah teruji menawarkan harga listrik antara 12 cent atau 13 cent dibandingkan harga jual listrik dari ThorCon sebesar 6,9 cent, diperkirakan pemerintah memberikan subsidi listrik sekitar Rp 8 triliun per tahun per 1 GW.

“Siapa yang mau bayar? Sekarang pemerintah sudah mengeluarkan subsidi listrik sekitar Rp 72 triliun. Bagaimana nanti jika sudah dibangun PLTN dengan harga jual listrik antara 12 cent atau sekitar Rp 2000 sampai 13 cent? Tahun depan diperkirakan bertambah menjadi Rp 90 triliun. Dalam hitungan 10 tahun ke depan sekitar Rp 186 triliun. Duitnya dari mana? tanyanya.

Bob melanjutkan, semua orang tahu biaya fiskal pemerintah sudah padat. Belum lagi utang Indonesia ke luar negeri, masih besar. Sehingga, penggerak fiskal kita sudah tidak bisa lagi terlalu banyak tambahan. Sementara jumlah menteri kabinet Presiden Prabowo ada 48 menteri, sehingga program yang sebelumnya tidak ada dimunculkan. Dia kembali bertanya, siapa yang mau bayar subsidi listrik Rp 8 triliun per tahun per 1 GW?

Jika pemerintah ingin PLTN yang sudah teruji, harus menyiapkan subsidi tambahan listrik Rp 8 triliun per tahun per 1 GW. Namun, jika pemerintah mau menekan biaya pokok produksi (BPP), harusnya pembangkit listrik yang dibangun adalah pembangkit yang BEP BPP-nya di bawah Rp 1.000 per kWh atau 7 cent. Karena, harga listrik di atas 7 cent akan ada biaya subsidi listrik.

“Jika kita memperhatikan secara cermat dan objektif, maka ThorCon adalah solusi praktis transisi energi bagi PLN. Praktis pertama, ThorCon tidak membutuhkan subsidi karena menjual listrik Rp 1.000 per kWh atau di bawah 7 cent. Praktis kedua, PLTN yang dibangun ThorCon bisa mendekati langsung beban listrik dasar. Praktis ketiga, PLTN ThorCon diletakkan di atas kapal laut, sehingga bisa dipindah-pindahkan. Praktis keempat, ThorCon andal, karena bisa beroperasi selama 24 jam,” pungkas Bob memastikan ThorCon bisa menjawab penambahan energi listrik bersih, berbiaya murah, dan mendukung target NZE tahun 2060. (Syarif)

 

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !