
Jakarta,corebusiness.co.id-Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ingin mengulang sejarah yang telah dilakukan di tahun 2018, dengan menandatangani perintah eksekutif yang mengenakan tarif sebesar 25 persen atas impor dari Kanada dan Meksiko, beserta tarif sebesar 10 persen atas impor dari Tiongkok.
Penandatanganan menaikkan tarif tersebut dilakukan Trump pada 3 Februari 2025. Namun, setelah berdiskusi dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, Trump setuju untuk menunda tarif atas Kanada dan Meksiko selama 30 hari, hingga 4 Maret. Trump juga memberikan waktu untuk negosiasi lebih lanjut mengenai keamanan perbatasan dan masalah perdagangan narkoba.
Seminggu kemudian, pada 10 Februari, tiba-tiba Trump meningkatkan agenda tarifnya, dengan menandatangani perintah eksekutif baru yang mengenakan tarif menyeluruh sebesar 25 persen atas semua baja dan aluminium impor, dan membatalkan pengecualian sebelumnya untuk negara-negara tertentu. Dengan menyatakan, “Tidak ada pengecualian, tidak ada pengecualian!” kebijakan tersebut akan mulai berlaku pada 12 Maret.
Pada 13 Februari, Trump menandatangani memorandum presiden lainnya yang memerintahkan rencana komprehensif meningkatkan tarif AS agar setara dengan tarif yang dikenakan negara-negara lain atas impor AS.
Daur Ulang Kebijakan Tahun 2018
Atas perintah Trump ini, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick menekankan agar kajian kebijakan menaikkan tarif diharapkan selesai pada 1 April. Setelah itu, Trump akan memutuskan kapan akan menerapkan tarif baru yang diusulkan.
Pikiran Trump sepertinya sudah gabut. Dia keukeuh ingin memberlakukan kenaikan tarif menyeluruh sebesar 25 persen atas semua produk impor negara-negara produsen baja dan aluminium. Tanpa pengecualian!
Menukil analisis Shanghai Metals Market (SMM), Trump sepertinya ingin mengulangi kebijakan yang pernah diberlakukannya pada tahun 2018. Ketika itu, Trump menerapkan Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan Tahun 1962 untuk mengenakan tarif 10 persen pada aluminium impor, dengan alasan masalah keamanan nasional. Tarif tersebut mulai berlaku pada 23 Maret 2018, menargetkan aluminium yang tidak ditempa, paduan aluminium, dan produk aluminium tertentu.
Awalnya, AS memberikan pengecualian sementara kepada Kanada, Meksiko, Uni Eropa, Australia, Argentina, Brasil, dan Korea Selatan. Namun, pada 31 Mei 2018, pengecualian untuk Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa dicabut, sehingga mereka tetap dikenakan tarif sebesar 10 persen.
Lain halnya dengan Australia, Argentina, dan Brasil, akhirnya memperoleh pengecualian jangka panjang, dengan ketentuan dari Trump, Argentina dan Brasil harus untuk mengekspor kuota sebagai imbalan atas pengecualian mereka.
Belakangan, kebijakan tarif Trump memicu tindakan balasan global yang cepat. Kanada mengenakan tindakan balasan senilai 16,6 miliar dolar Kanada pada produk-produk AS. Sementara Uni Eropa (UE) mengenakan tindakan balasan senilai $2,8 miliar yang menargetkan aluminium, baja, sepeda motor Harley-Davidson, dan wiski Bourbon, serta mengajukan keluhan atas kebijakan Trump ke World Trade Organization (WTO).
Meksiko juga bereaksi, dengan mengenakan tarif hingga 25 persen pada aluminium, daging babi, keju, dan apel AS. Sedangkan Tiongkok, yang telah menghadapi bea antidumping dan bea masuk imbalan pada produk-produk aluminium sejak 2017, mengenakan tarif tambahan sebesar 15 persen-25 persen pada 128 produk AS senilai $3 miliar, termasuk barang-barang aluminium.
Negara-negara lain, termasuk Rusia dan India, mengajukan keluhan kepada WTO atau mengenakan tindakan balasan mereka sendiri.
Mendapat perlawanan dari Kanada dan Meksiko, nyali Trump mulai ciut. Pada Mei 2019, Trump mencabut tarif aluminium pada Kanada dan Meksiko untuk memfasilitasi pengesahan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA). Namun, pada Agustus 2020, pemerintahan Trump kembali menggertak Kanada dengan memberlakukan tarif 10 persen pada impor aluminium tertentu, yang memicu tindakan balasan cepat dari Kanada.
Ketika Joe Biden dilantik sebagai Presiden ke-46 AS, pada September 2020, dia mencabut kebijakan tarif tersebut. Pemerintahan Biden juga mengeluarkan kebijakan menangguhkan tarif yang diberlakukan selama masa jabatan Trump. Sebagai bagian dari perjanjian yang dinegosiasikan, Uni Eropa juga menangguhkan sementara tarif balasannya pada barang-barang AS, yang berlaku berlaku hingga Maret 2025.
Senjata Makan Tuan
Dalam benak Trump, kebijakan menaikkan tarif tersebut awalnya diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi produsen aluminium AS. Ternyata, yang terjadi sebaliknya. Produksi aluminium primer domestik terus menurun. Konsumsi aluminium AS tetap sangat bergantung pada impor. Untuk menjaga keberlangsungan usaha, perusahaan-perusahaan di AS akhirnya lebih banyak memproduksi aluminium daur ulang.
Industri hilir, seperti otomotif, konstruksi, dan pengemasan, menghadapi biaya material yang lebih tinggi, yang mengikis daya saing global mereka.
Kembali ke kebijakan baru Trump, diprediksi akan memunculkan ketidakpastian jangka panjang. Kembalinya pengenaan kenaikan tarif Trump, bisa meningkatkan ketegangan perdagangan global.
Menurut para ahli perdagangan, seperti dikuitp SMM, dalam jangka pendek, banyak negara mungkin mencoba menghindari guncangan tarif melalui diplomasi. Tetapi, jika Trump keras kepala, mitra dagang global mungkin berusaha untuk mendiversifikasi pasar mereka dan mengurangi ketergantungan pada AS dalam jangka panjang.
Wakil Presiden Asia Society Policy Institute (ASPI), Wendy Cluster, misalnya, memperingatkan bahwa beberapa negara atas kebijakan tarif Trump berubah begitu cepat sehingga negosiasi, mungkin, bukan solusi jangka panjang, dan tak menutup kemungkinan terpaksa mengambil tindakan balasan.
Kanada, misalnya, negara pemasok aluminium primer terbesar ke AS (mencakup hampir 80 persen impor), mengecam keras tarif baru tersebut sebagai “tidak dapat dibenarkan” dan mengancam tindakan balasan. Quebec, wilayah penghasil aluminium utama di Kanada, mengusulkan penerapan pajak ekspor pada pengiriman aluminium ke AS sebagai daya ungkit dalam negosiasi.
Uni Eropa berjanji untuk membalas, dengan mempertimbangkan untuk memberlakukan kembali tarif tahun 2018 pada barang-barang AS, termasuk Bourbon dan sepeda motor Harley-Davidson. UE juga telah memperingatkan bahwa kebijakan Trump dapat meningkat menjadi perang dagang lainnya.
Jepang secara resmi meminta pengecualian, dengan alasan integrasinya yang mendalam ke dalam rantai pasokan AS. Namun, hingga saat ini, AS belum menanggapi.
Australia telah melobi secara agresif untuk mendapatkan pengecualian. Meskipun Trump awalnya menyatakan tidak akan ada pengecualian, ia kemudian menyatakan setelah menelepon Perdana Menteri Anthony Albanese bahwa permintaan Australia akan dipertimbangkan secara serius. Namun, laporan selanjutnya menunjukkan bahwa AS menuduh Australia gagal menghormati komitmen sebelumnya untuk membatasi ekspor aluminium, sehingga menimbulkan keraguan apakah pengecualian akan diberikan.
Inggris telah mengambil pendekatan yang hati-hati, dengan mengupayakan negosiasi untuk mengurangi dampak tarif sekaligus memperingatkan bahwa bea baru tersebut dapat semakin melemahkan industri aluminium domestiknya.
Menurut SMM, dalam jangka pendek, banyak negara akan mendorong pengecualian, tetapi tanggapan jangka panjang mungkin mencakup tindakan balasan dan perubahan arus perdagangan. Minggu-minggu mendatang akan menentukan bagaimana pasar baja dan aluminium global menyesuaikan diri dengan lanskap baru. (Rif)