
Jakarta,corebusiness.co.id-Beberapa perusahaan global merasakan bisnis di Tiongkok telah berubah dalam jangka panjang. Tarif Trump berdampak ekonomi yang rapuh dan permintaan konsumen yang lesu, memaksa para owner perusahaan untuk memikirkan kembali strategi merek mereka dan bersaing dengan produk lokal.
Dari produsen mobil BMW (Jerman), Uniqlo dan Fast Retailing (Jepang), hingga raksasa furnitur IKEA, perusahaan-perusahaan global telah kehilangan harapan terhadap prospek Tiongkok. Beberapa perusahaan telah menarik proyeksi pendapatan mereka, sedangkan yang lain pasrah, sambil berharap ada “normalisasi” baru.
Prospek bisnis mereka yang suram menggambarkan bagaimana pasar Tiongkok, yang dibayangi perang dagang, persaingan harga yang ketat, meningkatnya nasionalisme, dan konsumen yang sadar biaya, menjadi hambatan besar bagi banyak bisnis yang sudah tertekan oleh tarif AS yang lebih tinggi.
“Kita perlu menemukan cara produksi yang lebih cerdas agar harga menjadi lebih kompetitif. Kita perlu belajar untuk menjadi lebih relevan bagi pasar Tiongkok,” kata CEO Inter IKEA, Jon Abrahamsson Ring, seperti dikutip Reuters, Sabtu (18/10/2025).
Pemilik waralaba IKEA tersebut mengungkapkan, kepercayaan konsumen di Tiongkok masih menjadi tantangan.
Dengan perang harga dan tarif AS, produsen mobil asing di Tiongkok termasuk yang paling terpukul. BMW, Mercedes-Benz, dan Porsche, misalnya, melaporkan penurunan penjualan di pasar otomotif terbesar di dunia di tengah persaingan yang ketat. Mereka menekankan pentingnya bagi perusahaan untuk memikirkan kembali bisnis di Tiongkok.
Sementara itu, ASML, pemasok peralatan pembuat chip komputer terbesar di dunia, memperingatkan penurunan permintaan Tiongkok “signifikan” tahun depan, dan menyebut penurunan penjualan di Tiongkok sebagai “normalisasi.”
Menyusul tanda-tanda masalah Tiongkok lainnya, Micron berencana untuk berhenti memasok chip server ke pusat data di negara tersebut.
Pergeseran pola belanja juga merugikan peritel global, lantaran konsumen di Tiongkok sedang melakukan penghematan. Untuk platform daring, misalnya, konsumen lebih memilih berbondong-bondong membeli produk seperti Taobao milik Alibaba, yang menyediakan harga diskon.
Di Fast Retailing, pemilik Uniqlo, penjualan dan laba menurun di Tiongkok dari pasar terbesarnya di 900 toko. Sementara pendapatannya di Amerika Utara naik 24 persen.
Nike, produsen sepatu dan pakaian olahraga global, juga mengalami penuruan omset. Perusahaan melaporkan penurunan penjualan pada kuartal kelima di pasar Tiongkok Raya, di tengah persaingan ketat dari merek-merek domestik, termasuk Anta dan Li Ning.
Nike bahkan baru-baru ini mengirim bintang basket AS LeBron James dan Ja Morant ke Tiongkok untuk memikat konsumen.
Di sektor alkohol, Treasury Wine Estates, menarik proyeksi pendapatannya untuk tahun 2026 karena penjualan anggur unggulannya, Penfolds, terkontraksi di Tiongkok.
Penurunan proyeksi produsen alkohol dari Australia tersebut dengan alasan perubahan kebiasaan minum alkohol dan berkurangnya acara perjamuan berskala besar di Tiongkok.
Senasib, produsen minuman beralkohol Prancis, Pernod Ricard mengatakan, penjualannyavdi Tiongkok anjlok 27 persen.
Reuters melansir, tekanan deflasi yang terus-menerus di Tiongkok mendukung argumen untuk langkah-langkah kebijakan lebih lanjut, karena permintaan yang lemah dan ketegangan perdagangan membebani ekonomi senilai $19 triliun.
Data pertumbuhan PDB dan penjualan ritel Tiongkok pada Senin, 13 Oktober 2025, ditambah serangkaian laporan laba rugi dari perusahaan-perusahaan global, akan memberikan investor wawasan lebih dalam tentang kesehatan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Tantangan yang semakin besar bagi merek-merek global semakin bertambah dengan pesatnya pertumbuhan alternatif produk dalam negeri yang lebih murah untuk hampir semua hal. Mulai dari mobil hingga kopi dan mode.
Perang Harga dengan Produk Lokal
Merek-merek Tiongkok menyumbang 69 persen dari total penjualan mobil di Tiongkok dalam delapan bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan 38 persen pada tahun 2020.
Beberapa nama besar, termasuk Luckin Coffee, yang bersaing dengan Starbucks, jaringan es krim dan minuman Mixue, yang membuat Haagen-Dazs kesulitan dengan penawaran yang lebih murah. Serta merek kecantikan dan kosmetik Proya dan Chando, yang telah merebut pangsa pasar dari para pemain global.
Menurut Frost & Sullivan, perusahaan konsultan bisnis yang menyediakan riset pasar, umumnya konsumen membayar 9,9 yuan ($1,4) untuk secangkir latte dari Luckin, kurang dari sepertiga harga di Starbucks.
“Pangsa pasar merek kosmetik Tiongkok diperkirakan akan melampaui merek asing untuk pertama kalinya pada tahun 2025, mencapai 50,4 persen,” Frost & Sullivan memperkirakan.
Urban Revivo, yang dikenal sebagai pesaing Zara di Tiongkok, merupakan salah satu dari kelompok perusahaan domestik yang sedang berkembang yang ingin berekspansi ke luar negeri.
Bintang lainnya adalah peritel perhiasan Laopu Gold, yang sering disebut “Hermes emas”, yang sahamnya telah melonjak 214 persen tahun ini. Perusahaan ini sangat terinspirasi oleh warisan budaya Tiongkok dan telah terbukti populer di kalangan konsumen.
Frost & Sullivan mengatakan, 77,3 persen pelanggan Laopu juga berbelanja di Louis Vuitton, Hermès, Cartier, Bulgari, dan Tiffany & Co. (Rif)