
Ia mengakui bahwa China merupakan trendsetter sektor industri dan manufaktur yang mempunyai keunggulan kompetitif. Mulai dari energi yang murah, kemudahan infrastruktur, clustering bisnis per bisnis, serta tenaga kerja dengan produktivitas tinggi.
Ketiga, dampak tarif AS akan menjadi masalah bagi nilai tukar rupiah. Rupiah berpotensi volatile di hadapan dolar AS sejalan dengan adanya potensi neraca dagang yang terkontraksi akibat kebijakan tarif AS.
“Kita lihat tahun 2025 di kerangka ekonomi makro, pemerintah hanya mematok rupiah sebesar Rp 16.000 per dolar AS. Nah, ketika nilai terus tereskalasi, maka ini akan jadi masalah tersendiri,” jelasnya.
Keempat, lanjut Ajib, PMI Manufaktur semakin turun. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami deindustrialisasi yang disebabkan kombinasi faktor domestik dan global.
Terlepas dari hasil negosiasi tarif, Ajib mengatakan, saat ini momentum tepat bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral maupun multilateral dengan negara lain.
“Misalnya, mempercepat hubungan dengan negara-negara Asean, BRICS, dan Uni Eropa,” sarannya.