
Bunga bank yang tinggi, kata dia, akan menghancurkan sektor ril, sementara uang yang banyak dipakai pemerintah untuk “menyerang” nilai tukar rupiah.
“Jadi, kita membiayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu tanpa kita sadari. Ini bukan karena kita bodoh atau bagaimana, tapi karena kita belum mengetahui mencari solusi ketika menghadapi kondisi seperti itu,” tegasnya.
Ayah dua orang putra ini lantas menganalisis kesalahan-kesalahan dalam penanganan krisis moneter di tahun 1997 dan 1998. Ketika terjadi kehancuran finansial global tahun 2008, Purbaya memberi masukan ke tim think thank SBY.
“Waktu itu ujian ekonominya ekspansif fiskal tahun 2009, namun suku bunga bank diturunkan di Desember 2008 ketika rupiah sedang lemah. Hitungan saya begini, kalau kita ingin menjaga nilai tukar dan lain-lain, maka ciptakan pertumbuhan ekonomi. Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, maka jaga kondisi likuiditas di sistem perekonomian, itu yang terjadi,” terangnya, seraya menambahkan Presiden SBY bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi hampir mendekati 6 persen.
“Saya pikir, dengan edukasi tahun 2008 dan 2009 semua orang sudah mengerti, karena banyak ekonom yang melihat. Rupanya lupa, kita itu cepat lupa. Makanya kondisi ekonomi turun-naik, turun-naik. Untung saya masih ingat sedikit-sedikit,” lontarnya.
Ia melanjutkan, tahun 2015, ketika Presiden Jokowi mengambil pemerintahan, kondisinya sama, kebijakan fiskalnya sedang ketat. Ia menyarankan ke KSP untuk mengubah kebijakan pemerintah, dan ekonomi Indonesia selamat dari krisis.
“Jadi, pembalikan ekonomi Indonesia, bukan terjadi otomatis. Semua karena intervensi kebijakan. Kebetulan Pak Jokowi cukup cepat mengambil langkah,” ujarnya.
Berlanjut tahun 2020/2001, kondisi ekonomi di Indonesia sama, menurun, lantaran terjadi wabah Covid-19. Semua sektor perbankan kondisinya mengkhawatirkan.
Purbaya ketika itu sedang menjadi “anak buah” Menkomarves, Luhut Binsar Panjaitan.
“Saya waktu itu sedang di maritim, asyik mancing. Saya pikir ngapain mikirin ekonomi lagi, udah pada jago di perekonomian,” guyonnya.
Tapi setelah ia melihat pertumbuhan base money pada Maret 2000, ternyata minus 15,3 persen.
“Minus, artinya ekonomi sedang dicekek, padahal bunganya diturunkan. Ini salah kebijakan kita lagi. Jadi ekonominya turun hampir hancur,” tambahnya.
Purbaya dipanggil ke Istana Negara menemui Presiden Jokowi untuk diminta saran dan solusi menanggani krisis. Setelah mengetahui faktor penyebab terjadinya krisis, ia menyarankan Presiden Jokowi untuk mengurangi penyerapan ke sistem bank sentral (BI) dan menambah uang sistem ke perbankan nasional dari sisi fiskal.
Menurutnya, ketika itu pemerintah punya banyak uang yang disimpan di BI, sekitar Rp 529 triliun. Purbaya menyarankan dikembalikan ke sistem perbankan nasional.
“Mei 2001, dipindahkan uang sebesar Rp 300 triliun dari BI ke sistem perbankan. Laju pertumbuhan uang naik lagi, dari minus ke double digit 11 persen, terus dijaga bank sentral juga di atas 20 persen. Itu yang menyelamatkan ekonomi kita,” Purbaya menjelaskan strategi menyelamatkan sekaligus meningkatkan pertumbuhan Indonesia.
Seperti dia sudah berjanji akan mendorong pertumbuhan ekonomi di era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8 persen. (Rif)