
Diungkapkan faktor masih rendahnya permintaan kredit, di antaranya karena dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, dan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi.
“Perkembangan ini tecermin dari fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 yang masih cukup besar, yaitu mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54 persen dari plafon kredit yang tersedia. Terutama pada segmen korporasi dengan kontribusi utama dari sektor perdagangan, industri, dan pertambangan, serta dengan jenis kredit modal kerja,” ungkap Dewan Gubernur BI.
Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank memadai ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 29,29 persen dan DPK yang tumbuh sebesar 11,18 persen (yoy) pada September 2025 seiring ekspansi keuangan pemerintah, termasuk penempatan dana pemerintah pada beberapa bank besar serta kebijakan pelonggaran likuiditas dan insentif kebijakan mikroprudensial BI.
Kendati demikian, menurut Dewan Gubernur BI, minat penyaluran kredit perbankan pada umumnya cukup baik sebagaimana tecermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang cukup longgar. Kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM seiring dengan sikap kehati-hatian bank di tengah risiko kredit pada kedua segmen tersebut.
Sementara untuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi, berdasarkan catatan Dewan Gubernur BI, pertumbuhannya melambat menjadi masing-masing sebesar 3,37 persen (yoy) dan 7,42 persen (yoy). Berbeda dengan pertumbuhan kredit investasi mengalami peningkatan menjadi 15,18 persen (yoy).
BI memprakirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8-11 persen dan akan meningkat pada 2026.
Untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan, ke depan BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan serta memperbaiki struktur suku bunga. (FA)