“Karena Amerika Serikat tidak mengizikan produk dan komoditas Rusia ke beberapa negara, ThorCon tidak melanjutkan rencana membeli thorium dari Rusia. Rencananya, ThorCon akan menggunakan 100 persen uranium, tidak memakai thorium untuk PLTN,” tutur Bob.
Untuk pemenuhan bahan baku uranium, ThorCon menjalin kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam pembuatan laboratorium untuk pengembangan bahan bakar. ThorCon juga membangun diskusi dengan Mining Industry Indonesia (MIND-ID)— BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia–untuk penjajakan penyediaan bahan bakar PLTN. Komunisasi yang dibangun ThorCon ke MIND-ID terkait wacana sekiranya pemerintah melalui BUMN ingin membangun pabrik pemurnian thorium dan pengayaan uranium.
Menurut Bob, dampak sisa pemakaian thorium untuk reaktor nuklir tidak terlalu lama menjadi limbah. Beda bila menggunakan 100 persen uranium, skala masa dampak imbahnya bisa ratusan tahun.
“Untuk penanganan limbah ThorCon akan menjalin kerja sama dengan pemerintah, nanti uangnya dari ThorCon. Bagi negara, memang lebih efisien jika PLTN menggunakan thorium. Dari sisi biaya, tidak ada bedanya, reaktor yang menggunakan thorium atau uranium biayanya sama saja,” tukasnya.
Proyek PLTN Basis Molten Salt Reactor
PT ThorCon Power Indonesia sudah menyiapkan pelaksanaan proyek PLTN berbasis Molten Salt Reactor 2 x 250 MW (“TMSR500 atau Kelas-1). Rencana proyek PLTN akan dibangun di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, dan digadang-gadang sebagai calon PLTN pertama di Indonesia.
Bob menyampaikan progres pembangunan PLTN tersebut. Sejak tahun 2023 ThorCon telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dewan Energi Nasional (DEN). Bunyi MoU tersebut: DEN sepakat untuk membuat proposal bersama ke pemerintah mengenai pengajuan pembangunan PLTN pertama di Indonesia.
Proposal tersebut sudah dirampungkan pada Agustus 2023, dan saat ini masih berada di DEN. ThorCon juga sudah mengirim surat kepada Menteri ESDM dan Dirut PLN untuk memasukkan Pulau Gelasa sebagai salah satu tapak dan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Pembangkit Tenaga Listrik (RUU PTL).
“Karena, kalau tidak masuk RUU PTL tidak tidak akan ada proyek pembangunan PLTN. Jadi, tidak ada artinya,” tukas Bob.
Soal pilihan tapak PLTN di Pulau Gelasa, Bob menerangkan, pulau ini letaknya 32 kilometer dari Pulau Bangka. Pulau terpencil, tanpa ada penduduk. Karena jaraknya yang jauh, ThorCon mengestimasi perlu mengeluarkan biaya lebih untuk pembangunan PLTN dii pulau itu. Dia menyebut, untuk membangun tansmisi TMSR500 dibutuhkan biaya lebih dari Rp 2 triliun.
“ThorCon sadar, ada keresahan masyarakat dengan rencana pembangunan PLTN di Pulau Gelasa. Berdasarkan hasil survei kami, mayoritas masyarakat di Bangka Belitung mendukung, namun mereka tetap gelisah. Kita tidak mau masyarakat gelisah. Ternyata, setelah kita survei dan melakukan sosialisasi, masyarakat bisa menerima dan merasa tenang jika lokasi PLTN jauh dari pemukiman penduduk,” urainya.
Meski tak menghendaki musibah seperti dialami PLTN di Fukushima, Jepang, yang evacuation zones cuma 20 KM, sementara PLTN ThorCon di Pulau Gelasa jaraknya lebih jauh dari Pulau Bangka, 32 KM.
“ThorCon sejak awal merancang PLTN dibangun di daerah terpencil, bukan di daratan. Informasinya, beberapa perusahaan nuklir ingin membangun PLTN di daratan. ThorCon sadar, misalnya ada demo mungkin saja pemerintah tidak bisa menanganinya,” imbuhnya.
ThorCon lebih memilih mengeluarkan kocek lebih mahal, sehingga aktivitas proyeK PLTN berjalan lancar. Bob bahkan yakin setelah proyek pertama PLTN di Pulau Gelasa terbukti, teruji, kemudian beroperasi, tahap selanjutnya ThorCon akan membangun PLTN di kawasan pantai.
Dari pihak yang all out mendukung rencana ThorCon adalah DEN. Sementara surat yang telah dikirim ke Menteri ESDM dan Dirut PLN hingga saat ini belum ada respon. Bob menduga, mungkin masih menunggu berjalannya pemerintahan Kabinet Presiden Prabowo Subianto.