
Jakarta,corebusiness.co.id-Pemerintah Indonesia sedang menjajaki kerja sama dengan pihak Singapura dalam proyek pengadaan Carbon Capture dan Storage (CCS). Selain sudah ada tiga perusahaan yang sedang mengajukan perizinan untuk pengaplikasian penurunan emisi karbon dioksida (CO2).
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana mengatakan, transisi energi merupakan bagian dari program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, inti dari transisi enegi adalah bagaimana meningkatkan ketahanan energi dengan penyediaan energi yang semakin bersih, baik, kuat, dan kompetitif, serta sesuai dengan perubahan zaman saat ini.
“Jadi, transisi energi bagaimana bisa memastikan pergeseran dari energi fosil ke energi terbarukan. Di sisi lain, penyediaan energi ini menjadi salah satu penggerak ekonomi dan menjadikan Indonesia semakin kompetitif, baik untuk investasi maupun perekonomian,” kata Dadan Kusdiana saat menjadi narasumber Webinar bertema ‘Menakar Potensi Bisnis CCS/CCUS di Indonesia’ yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Energi Indonesia (AJEI), pada Selasa (22/7/2025).
Dadan menyampaikan bahwa pemerintah sejak tiga tahun lalu telah menetapkan dan mensosialisasikan roadmap Net Zero Emission (NZE). Karena itu, kata dia, sekarang waktunya melakukan implementasi dari rodmap NZE.
“Kebijakan-kebijakan yang sudah disusun pemerintah, mulai dari Peraturan Pemerintah, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), hingga Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Semua kebijakan ini untuk mendukung, meningkatkan ketahanan energi nasional, dan penyediaan energi yang semakin bersih,” terangnya.
Dalam konteks Carbon Capture dan Storage (CCS), Dadan menyebutkan bahwa program penurunan emisi karbon menjadi salah satu pilar dari transisi energi agar bisa berjalan dengan baik.
“Jadi, ada lima pilar peran serta transisi energi di Indonesia. Pertama, elektrifikasi yang menjadi gaya baru di Indonesia untuk menstubsitusi atau menggeser pemanfaatan energi berbasis fosil. Salah satunya dari penggunaan BBM ke energi listrik,” sebutnya.
Kedua, disampaikan Dadan, melakukan teknologi energi rendah karbon, dalam hal ini konversi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke energi karbon rendah. Ketiga, pemerintah mendorong upaya pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), yang menjadi salah satu strategi besar pemerintah.
“Baru-baru ini dalam sebuah acara Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia menargetkan 100 persen penggunaan EBT, khususnya dalam penyediaan listrik dalam kurun tahun 2035 atau 2040 ke depan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi ESDM. Karena itu, ESDM akan mengkombinasikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan untuk mendukung penggunaan EBT.
Dadan melanjutkan, “Keempat adalah efisiensi energi. Kemudian kelima, on top dari semua itu dalam beberapa hal yang kami pelajari, ternyata tidak semua energi fosil bisa digeser secara cepat dengan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan industri, perumahan, dan transportasi. Di sisi lain, teknologi untuk pemanfaatan energi terbarukan belum tersedia secara masif, dan dari sisi keekonomian masih menjadi tantangan.”
Dukungan Regulasi
Kementerian ESDM telah menyusun strategi untuk memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, di samping tetap menyediakan energi berbasis fosil dengan menyediakan teknologi untuk pemrosesan produk energi turunannya. Dua di antaranya pemrosesan Carbon Capture dan Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization dan Storage (CCUS).
Dadan mengakui, secara teknologi, CCS sudah banyak dikembangkan di beberapa negara. Untuk mendukung pengembangan CCS dan CCUS, pemerintah sudah memberikan dukungan dari sisi regulasi, yaitu Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpangan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kemudian, Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture and Storage/CCS). Perpres ini mengatur tentang kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia, termasuk perizinan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan CCS. Serta Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penyimpanan Karbon pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon dalam Rangka Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
“Saat ini ada tiga badan usaha yang sudah melakukan pendaftaran untuk mendapatkan izin wilayah dan pemanfaatan CCS,” ucap Dadan.
Dari sisi implementasi, kata dia, Indonesia sebenarnya tergolong negara di depan, dan tergolong negara maju dari sisi dukungan regulasi. Sementara dari sisi komersialisasi—sudah adanya tiga perusahaan yang mengajukan aplikasi untuk perizinan–ESDM juga melakukan kerja sama dengan pihak Singapura untuk proyek pemanfaatan CCS.
Secara garis besar, Dadan menyampaikan poin-poin kerja sama dengan Singapura, di mana proses capturing dilakuakan di Singapura kemudian ditransportasikan serta disimpan di storage wilayah Indonesia.
“Pemerintah Indonesia sedang memastikan pihak Singapura, baik dari sisi risiko, keekonomian, hingga sisi regulasi agar sesuai untuk mendukung proyek CCS ini. Jika kerja sama ini terealisasi, tentunya merupakan salah satu peluang ekonomi bagi baru, di samping bisa menurunkan emisi CO2,” pungkasnya.
Namun, dia juga sudah memperkirakan kerja sama ini akan memunculan pro kontra, lantaran Indonesia dinilai mengimpor CO2 dari Singapura.
“Jadi, konteksnya bukan mengimpor CO2. Indonesia bekerja sama dengan negara lain dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri. Karena, jika tidak dimanfaatkan akan percuma,” tukasnya.
Menurutnya, dari pengalaman kerja sama dengan Singapura ini, nantinya akan dipakai untuk pengaplikasian proyek CCS di dalam negeri. Toh, menurut Dadan, sebenarnya Indonesia tidak mesti bekerja sama dengan negara lain, jika semua persyaratan dan dukungan di dalam negeri sudah siap, tentunya bisa dieksekusi oleh anak bangsa. (Syarif)