
Jakarta,corebusiness.co.id–Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Disebut-sebut, pasal terkait power wheeling (sewa jaringan) menuai pro kontra.
Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya menegaskan bahwa RUU EBET adalah salah satu usulan pertama yang ia tandatangani setelah dilantik sebagai Ketua Komisi XII. RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi XII, dan akan segera dibahas lebih lanjut dalam waktu dekat.
“Ini adalah salah satu usulan yang pertama yang saya tandatangani ketika saya menjadi Ketua Komisi XII beberapa bulan lalu. RUU EBET menjadi salah satu prioritas yang akan segera dibahas oleh DPR RI,” kata Bambang Patijaya dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU EBET Kembali Dibahas, Menanti Energi Terbarukan Sebagai Solusi Energi,” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta.
Legislator Fraksi Partai Golkar tersebut mengatakan, RUU EBET sejalan dengan visi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen, juga merupakan strategi untuk ketahanan energi nasional sekaligus menjawab tantangan global, khususnya komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission (NZE).
Bambang Patijaya mengungkapkan Komisi XII DPR RI terus berkoordinasi dengan PLN dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan kesiapan infrastruktur serta implementasi bauran energi baru terbarukan sesuai dengan target yang ditetapkan.
Menurutnya, RUU EBET penting untuk direalisasikan agar Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat dalam memanfaatkan energi baru dan energi terbarukan untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan.
“Proyeksi kebutuhan energi Indonesia yang diperkirakan mencapai 107 GW dalam 15 tahun ke depan, dengan 75 GW di antaranya berasal dari sumber energi baru terbarukan, semakin memperkuat urgensi RUU ini,” ujar Bambang Patijaya.
Pro Kontra Skema Power Wheeling
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, menyatakan, belum rampungnya pembahasan RUU EBET di DPR periode sebelumnya karena masih ada pro kontra mengenai pasal power wheeling (sewa jaringan).
“Saya kira yang masih menjadi permasalahan dalam RUU EBET tentang power wheeling. Sebagian anggota DPR RI ingin power wheeling dimasukkan dalam RUU EBET. Tapi, pihak pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, keberatan dengan skema power wheeling. Karena, skema ini akan berpotensi merugikan konsumen sekaligus merugikan APBN. Padahal pengesahan RUU EBET ini sangat penting, karena ditunggu-tunggu banyak pihak. Terutama bagi pelaku usaha EBET,” kata Fahmy kepada corebusiness.co.id, Rabu (23/4/2025)
Fahmi menduga dimasukkannya klausul skema power wheeling ada titipan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dia berpandangan power wheeling bertentangan dengan konstitusi, di antaranya UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, dan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
“Pasal tentang power wheeling sempat dihapus pada awal 2023, namun kemudian dimunculkan kembali tiga bulan kemudian dan saat ini sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi,” ujar Fahmy.
Ia menjelaskan power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) membangun pembangkit listrik EBET dan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Harga sewa penggunaan jaringan tersebut ditentukan oleh pemerintah.
“Penggunaan skema power wheeling oleh IPP untuk menjual listrik langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, akses power wheeling ke wilayah khusus, baik wilayah PLN maupun wilayah non-PLN industri, akan mengurangi pendapatan PLN yang sebagian besar berasal dari pelanggan industri,” imbuhnya.
Doktor Ekonomi dari University of Newcastle, Australia, ini mengingatkan bahwa skema power wheeling dapat meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, terutama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent. Peningkatan biaya operasional ini berpotensi memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
“Jika tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, negara harus mengalokasikan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN. Ini akan menggerus anggaran APBN yang seharusnya digunakan untuk program-program strategis, termasuk program makan bergizi gratis. Faktor inilah yang menjadi keberatan Kementerian Keuangan,” terangnya.
“Jika power wheeling diterapkan, perusahaan swasta berpotensi menjual listrik kepada industri pertambangan, yang bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan swasta namun berpotensi mengurangi pendapatan PLN secara drastis,”ungkapnya. (Rif)