
“Proyeksi kebutuhan energi Indonesia yang diperkirakan mencapai 107 GW dalam 15 tahun ke depan, dengan 75 GW di antaranya berasal dari sumber energi baru terbarukan, semakin memperkuat urgensi RUU ini,” ujar Bambang Patijaya.
Pro Kontra Skema Power Wheeling
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, menyatakan, belum rampungnya pembahasan RUU EBET di DPR periode sebelumnya karena masih ada pro kontra mengenai pasal power wheeling (sewa jaringan).
“Saya kira yang masih menjadi permasalahan dalam RUU EBET tentang power wheeling. Sebagian anggota DPR RI ingin power wheeling dimasukkan dalam RUU EBET. Tapi, pihak pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, keberatan dengan skema power wheeling. Karena, skema ini akan berpotensi merugikan konsumen sekaligus merugikan APBN. Padahal pengesahan RUU EBET ini sangat penting, karena ditunggu-tunggu banyak pihak. Terutama bagi pelaku usaha EBET,” kata Fahmy kepada corebusiness.co.id, Rabu (23/4/2025)
Fahmi menduga dimasukkannya klausul skema power wheeling ada titipan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dia berpandangan power wheeling bertentangan dengan konstitusi, di antaranya UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, dan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
“Pasal tentang power wheeling sempat dihapus pada awal 2023, namun kemudian dimunculkan kembali tiga bulan kemudian dan saat ini sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi,” ujar Fahmy.
Ia menjelaskan power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) membangun pembangkit listrik EBET dan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Harga sewa penggunaan jaringan tersebut ditentukan oleh pemerintah.