Lantaran jumlah cadangan gas lebih banyak dan nilai ekonomi, Noor Arifin menduga jadi pemicu munculnya wacana dari pelaku hulu—Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)—agar pemerintah mengevaluasi masa kontrak kerja sama perdagangan.
“Isu di dalam trading gas saat ini adalah pricing dan kontrak. Zaman dulu, kontrak perdagangan dibuat jangka panjang. Mereka mengusulkan diberlakukan pembelian jangka pendek,” ungkapnya.
Nilai tambah gas bumi lainnya, disebutkan Noor Arifin, emisinya sekitar 25 persen-35 persen lebih rendah dibandingkan kandungan emisi minyak. Sehingga lebih menjadi jembatan energi yang relevan di dalam menuju energi hijau.
Pemanfaatan dan Distribusi
Kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi berdasarkan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2016 adalah dengan mempertimbangkan kepentingan umum, kepentingan negara, neraca gas bumi, cadangan dan peluang, infrastruktur, serta keekonomian.
Noor Arifin menyebutkan pemanfaatan gas bumi untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan kebutuhan transportasi, rumah tangga dan pelanggan kecil, peningkatan produksi minyak, industri pupuk, industri berbasis gas, provider tenaga listrik, serta industri yang menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar.
Ia merincikan pemanfaatan gas bumi tahun 2025 untuk kebutuhan ekspor LNG sekitar 23 persen, industri 25 persen, pupuk 12 persen, kelistrikan 17 persen, domestik 13 persen. Rata-rata realisasi penyaluran gas bumi didominasi untuk pemanfaatan sektor industri dan pupuk.
“Perbandingan pasokan ekspor tahun 2025 semakin menurun dibandingkan untuk pasokan domestik. Sebenarnya sejak sekitar tahun 2012 demand untuk domestik sudah melampaui demand ekspor,” urainya. (Rif)