Jakarta,corebusiness.co.id-Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan dilanjutkan Komisi VII DPR RI periode 2024-2029. Tersisa dua pasal yang belum mencapai kesepakatan, salah satunya tentang mekanisme sewa jaringan.
Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang EBET tidak bisa diselesaikan Komisi VII DPR periode 2019-2024, karena waktu yang sudah mendekati pelantikan anggota DPR RI periode 2024-2029. Padahal, hanya tersisa dua pasal lagi yang belum mencapai kesepakatan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi membenarkan kabar tersebut. Menurutnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Komisi VII DPR RI sudah sepakat pembahasan RUU EBET akan di carry over pada periode selanjutnya.
“Prosesnya sudah, tim sinkronisasi dan tim perumus sudah membahas 63 pasal, yang sudah disepakati ada 61 pasal, tinggal dua pasal, yakni satu pasal terkait energi baru dan satu pasal terkait energi terbarukan. Isi dua pasal yang terakhir ini terkait Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau sewa jaringan,” jelas Eniya pada Temu Media di Jakarta, baru-baru ini.
Eniya menjelaskan, dalam dua pasal terakhir itu, pemerintah mengusulkan terkait dengan PBJT yang isinya antara lain bahwa pemenuhan kebutuhan konsumen akan listrik yang bersumber dari EBET wajib dilaksanakan berdasar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dapat dilakukan dengan PBJT melalui mekanisme sewa jaringan.
Dalam hal PBJT melalui sewa jaringan, usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka akses pemanfaatan bersama jaringan transmisi untuk kepentingan umum. Kemudian, PBJT melalui mekanisme sewa jaringan diatur dalam peraturan pemerintah.
Eniya menyampaikan, dengan adanya skema PBJT ini, swasta dapat menjadi penyedia listrik, sehingga harga listrik EBT menjadi lebih murah dan subsidi pemerintah turun.
Ia menyebutkan, di RUU EBET ini semua badan usaha yang mengusahakan kegiatan untuk menurunkan emisi mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon.
“Poin penting dalam RUU EBET seperti insentif yang diperlukan dalam pengembangan EBT sudah disepakati bersama antara Komisi VII DPR RI dan pemerintah, hanya pasal skema sewa jaringan atau power wheeling yang masih belum dapat diselesaikan pembahasannya,” tegas Eniya.
Pelanggaran Konstitusi?
Sementara itu Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, melalui keterangan tertulis yang diterima corbusiness.co.id, menyatakan power wheeling (sewa jaringan) adalah pelanggaran konstitusi, karena meliberalisasi sektor kelistrikan kepada perusahaan swasta, yang seharusnya merupakan monopoli PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menurut Fahmy, pelanggaran konstitusi ini mencakup beberapa hal, di antaranya: UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, dan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Fahmy menjelaskan power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) membangun pembangkit listrik EBET dan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Harga sewa penggunaan jaringan tersebut ditentukan oleh pemerintah.
“Penggunaan skema power wheeling oleh IPP untuk menjual listrik langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, akses power wheeling ke wilayah khusus, baik wilayah PLN maupun wilayah non-PLN industri, akan mengurangi pendapatan PLN yang sebagian besar berasal dari pelanggan industri,” imbuhnya.
Fahmy mengingatkan bahwa skema power wheeling dapat meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, terutama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent. Peningkatan biaya operasional ini berpotensi memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
“Jika tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, negara harus mengalokasikan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN. Ini akan menggerus anggaran APBN yang seharusnya digunakan untuk program-program strategis, termasuk program makan bergizi gratis,” terangnya.
Fahmy mengingatkan dampak-dampak negatif dari power wheeling yang melanggar konstitusi dan potensi kerugian bagi negara. Karena itu, ia menekankan, pasal power wheeling dalam RUU EBET harus dihapus sebelum disahkan. Dia juga mengingatkan bahwa kebutuhan listrik di sektor industri, terutama pertambangan, akan terus meningkat secara signifikan.
“Jika power wheeling diterapkan, perusahaan swasta berpotensi menjual listrik kepada industri pertambangan, yang bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan swasta namun berpotensi mengurangi pendapatan PLN secara drastis,” ungkapnya.
Anggota DPR, DPD, dan MPR RI masa jabatan tahun 2024-2029 sudah dilantik. Acara pelantikan dilangsungkan dalam sidang paripurna yang digelar di Ruang Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Oktober 2024. Masyarakat pun menunggu pembahasan dan pengesahan dua pasal yang tersisa dari RUU EBET. (Syarif)