160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
750 x 100 PASANG IKLAN

Kapasitas 0,5 GW, Pakar Nuklir: Karena PLTN Pertama, Pemerintah Lebih Hati-hati Saja

Pakar Nuklir, Bob. S. Effendi. Foto: Syarif/corebusiness.co.id
750 x 100 PASANG IKLAN

Jakarta,corebusiness.co.id-Pakar nuklir, Bob S. Effendi mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk pengadaan energi listrik berbasis nuklir di Indonesia, meskipun dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 disebutkan kapasitasnya 0,5 GW.

RUPTL 2025-2034 telah menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 Giga Watt (GW). Dari total tersebut, 76 persen atau sekitar 52,9 GW bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sistem penyimpanan energi (storage). Proporsi EBT mencapai 42,6 GW (61 persen), storage 10,3 GW (15 persen), dan sisanya 16,6 GW (24 persen) berasal dari pembangkit fosil.

Rinciannya, kapasitas EBT terbagi atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 17,1 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 11,7 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 7,2 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 0,5 GW.

Berdasarkan rincian energi dalam RUPTL 2025-2034, kapasitas PLTS terbesar, yakni 11 GW, sedangkan terkecil adalah PLTN, sebesar 0,5 GW. Pun dinyatakan baru tahap pengenalan. Karena PLTN belum terbangun di Indonesia.

750 x 100 PASANG IKLAN

Menurut pakar nuklir, Bob S. Effendi, dengan dimasukkannya PLTN dalam RUPTL 2025-2034 menandakan pemerintah serius dalam pengadaan energi listrik berbasis nuklir di Indonesia.

“Pemerintah sama sekali tidak ragu-ragu. Buktinya nuklir masuk RUPTL. Karena PLTN pertama di Indonesia, pemerintah lebih hati-hati saja. Saya rasa keputusan pemerintah sudah tepat,” kata Bob S. Effendi kepada corebusiness.co.id, Rabu (28/5/2025).

Bob mengutarakan, saat ini sudah ada beberapa investor yang berminat membangun PLTN di Indonesia, di antaranya dari China, Rusia, Kanada, dan AS. Namun, perusahaan-perusahaan nuklir tersebut masih menunggu kepastian mekanisme kerja sama dari Pemerintah Indonesia.

“Sikap investor dapat dipahami, karena mungkin mereka menunggu terbentuknya NEPIO yang saat ini masih di meja Presiden,” ungkap Direktur PT Xpert Synergy Solution.

Bob mengatakan, hampir semua investor menunggu dibentuknya komite pembangunan PLTN yang perlu dibuat berdasarkan Keppres atau Perpres termasuk anggotanya. Ini adalah tahapan berikutnya setelah terbitnya RUPTL.

750 x 100 PASANG IKLAN

Terkait kapasitas PLTN sebesar 0,5 GW atau setara 500 MW, Bob menyebut lokasinya akan dibangun di Kalimantan dan Sumatera, dengan masing-masing kapasitas daya 250 MW.

“Untuk tipe di bawah 300 MW disebut small modular reactor atau SMR, namun belum ada yang beroperasi cukup lama. Atau tipe reaktor nuklir yang dibuat China, yaitu HTRPM skala 2×105 MW dan ACP100 125 MW, ada pula dengan teknik floating di atas kapal untuk tipe NPP KLT-40S kapasitas 64 MW dari Rusia. Hanya saja persoalannya Indonesia belum ada regulasi untuk floating,” urainya.

Pemerintah Indonesia menginginkan reaktor nuklir yang proven— sudah beroperasi lebih dari 2 tahun untuk skala mininal  250 MW. Sepengetahuan Bob, reaktor tipe ini belum ada dalam industri PLTN di dunia.

“Jadi, harus bangun skala besar di atas 1.000 MW, karena sudah banyak yang proven, tinggal  pilih reaktor nuklir dari Rusia, China, Korea, Jepang, atau AS. Masing-masing punya keunggulan,” imbuhnya.

Berdasarkan hasil tinjauannya, reaktor nuklir skala besar hanya bisa masuk di Jawa atau Sumatera. Dia mengusulkan, untuk wilayah Bangka bisa bangun PLTN kapasitas 4.000 MW dengan cara tarik kabel 500 KV HVDC dari Sumatera ke Bangka. Namun, ketentuan ini belum dicantukan dalam RUPTL 2025-2034. Pemerintah baru mencantumkan 500 KV HVDC Sumatera- Jawa

750 x 100 PASANG IKLAN

Menurutnya, penarikan kabel 500 KV HVDC dari Sumetera ke Bangka, sehingga Bangka bisa kirim langsung daya ke Jawa.

Adapun skema bisnis pengadaan PLTN, disebutkan Bob, bisa melalui Independent Power Producer (IPP), di mana perusahaan menjual listrik kepada PLN. Persoalannya, sampai saat ini pemerintah belum memutuskan berapa tarif listrik yang layak untuk PLTN.

“Saya rasa untuk pengembang PLTN sebaiknya kerja sama dengan anak perusahaan PLN. Bagi negara yang terpenting adalah pengembang yang dapat memberikan transfer teknologi serta mengembangkan rantai pasok nuklir di Indonesia, khususnya kemandirian bahan bakar nuklir. Sehingga dalam 20 tahun ke depan akan terbangun industri nuklir nasional,” tuturnya.

Informasi yang diterima Bob, RUPTL 2025-2034 belum final, akan ada revisi. Di antaranya terkait periodisasi pengadaan PLTN hingga tahun 2040, di mana akan penambahan PLTN menjadi total 10 GW.

“Bahkan, berdasarkan RUKN pada 2060 ditargetkan pengadaan PLTN mencapai 50 GW, begitu pula Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang masih menunggu ditandatangani oleh Presiden,” kata Bob. (Rif)

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
EXPERT SYNERGY

Tutup Yuk, Subscribe !