PEMERINTAH Indonesia akan mengambil langkah strategis untuk mencapai kedaulatan energi dengan menargetkan penghentian total impor minyak solar pada tahun 2026. Implementasi program mandatori biodiesel B50 (campuran 50 persen bahan bakar nabati) akan menjadi kunci sebagai substitusi seluruh kebutuhan solar impor.
Langkah ini didasari oleh keberhasilan program biodiesel yang telah berjalan dan terbukti ampuh menekan ketergantungan impor sekaligus menghemat devisa negara secara signifikan. Secara teknis, program B50 dirancang untuk menutup sisa kuota impor yang masih ada di bawah kebijakan B40 saat ini.
Untuk mewujudkan target ini, pemerintah akan memaksimalkan potensi sawit dalam proses lanjutan ke industri hilirisasi, yang merupakan salah satu program andalan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung dan sepakat dengan tujuan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan kemandirian energi di dalam negeri. Namun, butuh satu kesepahaman yang sama untuk mencapai target tersebut.
“Pemerintah, petani, dan perusahaan swasta harus bergandengan tangan untuk memaksimalkan potensi sawit Indonesia,” kata Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung kepada corebusiness.co.id, Kamis (27/11/2025).
Gulat Manurung menekankan, faktor penting suksesnya industri hilir sawit harus linier dengan penguatan sektor hulu dan regulasi. Jika ada salah satu pendukung itu tidak seiring sejalan, target yang ingin dicapai pemerintah bakal menghadapi pelbagai kendala.
Apa saja kendala tersebut, berikut petikan wawancara corebusiness.co.id dengan Ketum Apkasindo, Gulat Manurung:
Pemerintah sedang kencang ingin memaksimalkan potensi sawit dan produk turunannya. Salah satunya untuk bahan baku B50. Respon Anda?
Program pemerintahan Presiden Prabowo sangat bagus. Namun, menurut saya pemerintah harus membuat regulasi untuk menguatkan program-program untuk memaksimalkan potensi sawit di Indonesia.
Baru-baru ini, Apkasindo melakukan rapat dengan Menteri PPN/Bappenas, Bapak Rachmat Pambudy. Saya sampaikan agar pemerintah memperhatikan sektor hulu, karena kondisinya saat ini amburadul. Bersyukur, masukan dari kami, petani sawit, akan dimasukkan dalam Program Strategis Nasional (PSN) oleh Menteri PPN/Bappenas.
Sejauh pengamatan Anda, petani sudah siap memenuhi kebutuhan industry hilir, termasuk persiapan untuk bahan baku B50?
Produktivitas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang dihasilkan petani saat ini rata-rata 1,7 ton per hektare per tahun. Kalau kita bandingkan dengan yang sudah mengkuti program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), produktivitasnya mencapai 8 ton CPO per hektare per tahun.
Pemerintah harusnya mengkaji, mengapa perkebunan sawit rakyat mandek. Sampai dengan Oktober 2025, dari total 2,7 juta hektare target 5 tahun tahap I, baru direalisakan peremajaan sekitar 383 ribu hektare. Untuk tahun 2025, Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan peremajaan 120 ribu hektare, realisasinya baru sekitar 21 persen. Sementara sekarang sudah mendekati akhir tahun 2025.
Kalau pemerintah sudah mengetahui masalah di hulu, harusnya dibuat regulasi yang mendukung kegiatan usaha petani sawit. Itu pertama. Kedua, saat kita butuh CPO, tapi sawit yang ada ditumbangin.
Maksudnya ditumbangin?
Ditumbangin pohonnya oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), karena diklaim ditanam dalam kawasan hutan. Harusnya, sebelum langkah itu ditempuh, pemerintah sudah menyiapkan solusinya. Memang ada uang negara untuk memulihkan kembali pohon sawit yang sudah ditumbangin itu?
Selanjutnya, ketiga, kalau kita bicara produk turunan dari CPO, Indonesia tidak ada saingannya dari negara lain. Produk turunan CPO Indonesia paling canggih, bahkan kita sudah masuk ke produk avtur. Tetapi, kita juga harus memperhatikan petani sawit yang jumlahnya mencapai 42 persen dari total luas perkebunan sawit. Sumberdaya petani harus menjadi perhatian penting.
Tiga hal itulah yang harus kita perhatikan bersama-sama. Kalaulah dipaksakan kita sudah bisa menghasilkan B50 tahun 2026, itu akan jadi bumerang. Salah satu dampaknya, ekspor CPO Indonesia bisa turun drastis.
Ekspor CPO Indonesia tahun 2024 sekitar 55 persen, sebesar 45 persen dipergunakan untuk kebutuhan domestik. Sekarang, jika B50 kita terapkan, maka hampir 70 persen CPO untuk kebutuhan domestik. Gambarannya adalah, jika persentasi ekspor kecil, fatal lagi tidak ekspor CPO, bagaimana dengan devisa untuk negara? Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa tutup, karena mereka hidupnya dari ekspor sawit Indonesia. Apakah kita sudah siap kehilangan kurang lebih Rp 500 triliun devisa dari ekspor sawit.
Pandangan Anda untuk membenahi persoalan di hulu?
Dalam waktu dekat tidak mungkin juga kita melakukan peremajaan atau replanting, karena rata-rata panen sawit baru dilakukan 3 tahun ke depan. Menurut saya, replanting dilakukan bertahap. Pemerintah juga nggak usah dulu bikin B50, perkuat saja program B40 yang sudah berjalan. Sambil kita perbaiki sektor hulu. Toh, sektor hilir kita sudah canggih.
Menteri Pertanian sudahlah, kalau ngomong doang siapa sih yang nggak bisa. Dia bilang, nanti kita gunakan B50. Kalau harga CPO global naik, berarti kita kurangi penggunaan B50. Kalau harga CPO global turun, kita serap lagi CPO dalam negeri untuk memproduksi B60. Dia mikir tidak sektor hulu belum siap.

Makanya, ketika diklaim Satgas PKH ada sekitar 3,4 juta tanaman sawit berada dalam kawasan hutan, merurut saya luasan lahan itu sangat potensi. Kenakan saja pajak untuk sawit dalam kawasan hutan. Katakan PPN secara umum 11 persen, naikkan saja 15 persen. Kalau dihitung dari selisih 4 persen itu mencapai kurang lebih Rp 500 triliun per tahun.
Informasinya penertiban tanaman sawit di kawasan hutan karena tidak ada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Tanggapan Anda?
Kebijakan itu sudah lama diterapkan pemerintah. Perusahaan-perusahaan maupun petani ketika dia tidak mempunyai perizinan dalam mengelola perkebunan sawit di kawasan hutan, maka akan dicabut izinnya dan didenda.
Sanksi dendanya itu minta ampun, jangankan kami petani sawit, perusahaan sawit saja tidak sanggup membayar denda itu. Bayangkan saja, kalau petani transmigrasi sudah menanam sawit di zaman Orba, umur tanaman itu sudah 30 tahun. Rumusnya, 30 tahun dikurang 5 tahun masa belum produksi, maka masa produksinya 25 tahun. Kemudian, 25 tahun dikali sanksi denda Rp 25 juta per hektare, jumlah dendanya Rp 625 juta per hektare.
Jika denda itu tidak dibayar, katanya akan dipidana. Ini kan membingungkan. Maksud dari Presiden Prabowo saya kira tidak seperti itu. Presiden Prabowo ingin menertibkan tata kelola, bukan menghukum.
Persentasi antara perusahaan dan petani rakyat dari luasan 3,4 juta hektar tanaman sawit di kawasan hutan?
Berdasarkan laporan Satgas PKH di DPR, yang sudah mereka petakan sekitar 3,4 juta hektar tanaman sawit di kawasan hutan. Sebanyak 65 persen dilakukan korporasi dan 35 persen oleh petani.
Kalau korporasi, mereka sudah banyak melakukan ekspansi. Nah, yang kita pikirkan saat ini adalah petani sawit. Kasihan nasib mereka. Dari 35 persen petani yang tidak bisa menanam itu, jika dihentikan kegiatan usahanya, sudah berapa juta keluarga yang kelaparan. Ini yang perlu dicarikan solusinya.
Menurut saya, untuk kawasan hutan kenakan saja PPN 15 persen. Ini menjadi solusi, negara akan mendapatkan dana, aktivitas usaha sawit rakyat juga lancar. Jika sudah lancar, pada periode berikutnya bisa saja dinaikkan pajaknya. (Syarif)