
Jakarta,corebusiness.co.id-Penghapusan skema net metering dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 kembali dipermasalahkan Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatsi). Apa pasal?
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 telah menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 Giga Watt (GW). Dari total tersebut, 76 persen atau sekitar 52,9 GW bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sistem penyimpanan energi (storage). Proporsi EBT mencapai 42,6 GW (61 persen), storage 10,3 GW (15 persen), dan sisanya 16,6 GW (24 persen) berasal dari pembangkit fosil.
Dari 52,9 GW kapasitas EBT, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mendapat porsi paling besar, yakni 17,1 GW, sementara Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 11,7 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 7,2 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 0,5 GW.
Meskipun porsi kapasitas PLTS paling besar, Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatsi) menilai dukungan pemerintah masih setengah hati. Salah satu yang disorot Perpltasi adalah penghapusan skema net metering dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Permen ESDM ini merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
“Perplatsi melihat Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 mengandung banyak gagasan yang tidak mendukung pengembangan PLTS atap,” kata Ketua Umum Perplatsi, Muhammad Firmansyah kepada corebusiness.co.id.
Firmansyah menyebutkan skema ekspor impor listrik yang memuat ketentuan zero export secara komersial dalam Permen tersebut. Disebutkan, kelebihan energi listrik dari PLTS atap yang diekspor ke jaringan PLN tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan.
“Secara teknis listrik tetap mengalir dan tercatat, tetapi secara komersial dianggap bernilai nol,” ungkapnya.
Perplatsi berpendapat bahwa skema zero export sangat tidak berpihak kepada masyarakat. Karena, bukannya memberikan tambahan insentif kepada masyarakat yang secara sukarela memasang PLTS atap, malah mengurangi insentif bagi masyarakat untuk berinvestasi dengan memasang PLTS atap. Karena, tidak adanya mekanisme balas jasa atas kelebihan listrik yang dihasilkan.
Sejak Permen ESDM ini diberlakukan per 31 Januari 2024, skema net metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik. Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun.