Sembilan Fakta
Fakta ternyata UU No.22 Tahun 2021 tentang Migas ini sangat buruk. Satu, sistem tata kelola migas yang diciptakan tidak disukai oleh investor migas, di mana dalam Pasal 31 Undang-Undang ini mewajibkan investor membayar pajak dan pungutan-pungutan semasa eksplorasi, belum produksi. Di Majalah Tempo Edisi Oktober 2002, baru satu tahun usia UU No.22 Tahun 21 tentang Migas ini, saya sarankan agar undang-undang ini supaya dicabut selagi dampak negatifnya bagi bangsa masih pada tahap dini.
Dua, belasan pasal dari UU ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk membubarkan BP Migas yang menjadi wakil pemerintah dalam berhubungan dan berkontrak business to government (B to G) dengan investor migas.
Tiga, di era Presiden SBY, BP Migas yang dibubarkan oleh MK ini, kembali dihidupkan dan diubah namanya menjadi SKK Migas tanpa ada dasar hukum undang-undang yang kuat untuk melabrak keputusan MK. Sehingga lebih bersifat sebagai solusi sementara (ad-hoc). Ternyata, kehadiran SKK Migas masih ada hingga sekarang.
Empat, di Koran Kompas saya sarankan agar BP Migas yang dibubarkan oleh Keputusan MK yang bersifat final and binding, supaya dikembalikan ke Pertamina sebagai institusi asal dari BP Migas yang bernama Badan Koordinator Kontraktor Asing (BKKA) di bawah Dirut Pertamina, sehingga hubungan dengan investor kembali ke business to business (B to B) yang simpel.
Hal ini seyogyanya terjadi di era pemerintahan SBY yang melahirkan SKK Migas sebagai kelanjutan dari BP Migas. Ketika itu, Presiden SBY pernah secara lisan lewat telepon bersama Andi Malarangeng meminta saya untuk memberikan masukan tertulis tentang perbaikan pengelolaan migas. Masukan pandangan sudah saya sampaikan ke Menteri ESDM, Jero Wacik, termasuk analisis kerugian negara akibat dijualnya LNG Papua ke Fujian China dengan menggunakan formula harga jual yang salah menyetujui patokan batas atas harga crude oil yang sangat rendah, yaitu US$38 per barel utk kontrak penjualan LNG jangka pajang ke Fujian. Waktu itu, harga crude oil dunia sekita US$110 per barel, saya perkirakan negara rugi sekitar US$ 4 miliar atau sekitar Rp34 triliun per tahunnya. Sampai pihak buyer di Fujian bersedia mengubah formula harga jual yang tidak fair dan sangat merugikan Indonesia.
Lima, proses investasi yang diciptakan oleh para penyusun UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas sangat ribet, ruwet, dan birokratik, sehingga tidak disukai investor akibat dari pihak yang berkontrak dengan investor adalah pemerintah dengan pola hubungan B to G.
Pemerintah tentu tidak bisa mengurus perizinan yang dibutuhkan oleh investor sebelum UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas yang proses investasinya simpel dan tidak birokratik, karena yang berkontrak dengan investor adalah perusahaan negara dengan sistem B to B, dan regulasinya berdasarkan undang-undang.