Pemerintah harusnya mencabut UU Migas No. 22 Tahun 2001 dengan Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden. Karena UU Migas ini sudah terbukti inkonstitusional, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) ketika diketuai oleh Mahfud MD tahun 2012. Ketika itu MK mencabut belasan pasal lewat Putusan MK No.36/PUU–X/2012, termasuk membubarkan BP Migas. Kemudian, ternyata oleh Presiden SBY diputuskan untuk mengeluarkan Perpres melabrak Keputusan MK yang bersifat final and binding dengan menghidupkan kembali BP Migas dengan mengganti nama menjadi SKK Migas.
Status SKK Migas tersebut, tetap sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang tidak eligible untuk melakukan kegiatan usaha bisnis migas secara langsung, tidak bisa melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi migas secara langsung, serta tidak bisa melakukan kegiatan jual beli migas secara langsung, sehingga harus menunjuk pihak ketiga.
Sejarah migas mencatat, oknum ketua lembaga negara yang melanggar konstitusi ini, baik BP Migas maupun SKK Migas, terbukti bersalah telah melakukan kegiatan bisnis/usaha mengolah minyak mentah/kondensat bagian negara dari kontraktor/investor “dititip olah” di kilang swasta. Kemudian pengadilan memutuskan yang bersangkutan bersalah dan masuk penjara.
Sementara oknum Ketua SKK Migas terbukti bersalah menjual minyak mentah bagian negara yang berasal dari kontraktor/investor dengan menunjuk pihak ketiga di Singapura. Eks Kepala SKK Migas ini juga masuk penjara! Sementara tugas untuk melakukan kontrol terhadap semua pengeluaran investasi dari investor migas yang harus dikembalikan dalam bentuk cost recovery hingga saat ini masih di tangan SKK Migas.
Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak pihak tertentu, termasuk pejabat negara yang merangkap sebagai investor migas, batubara dan mineral yang belum rela UU Migas No.22 Tahun 2001 dicabut dengan Perppu.
Padahal, jika pengelolaan aset/harta berupa SDA migas, batubara, mineral timah, tembaga, nikel, aluminium, bauksit, emas, perak, dan lain-lain sesuai Pasal 33 UUD 1945, kondisinya tidak seperti sekarang. Karena, penerimaan APBN dari pengelolaan SDA akan jauh lebih tinggi.
Seperti pernah diimplementasikan dalam pengelolaan sektor migas berdasarkan UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8 Tahun 1971 dengan menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil yang memastikan perolehan negara harus lebih besar dengan porsi 65 persen untuk APBN, dan 35 persen untuk investor.