Oleh: Dr. Kurtubi
Dengan meluruskan pengelolaan aset sumber daya alam (SDA) minyak dan gas bumi (migas)serta mineral dan batubara (minerba) sesuai konstitusi UUD 1945 Pasal 33.
Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001 yang di-endorce oleh International Monetary Fund (IMF) ketika terjadi krisis moneter. Namun, RUU-nya disusun oleh anak bangsa sendiri. Menjadi penyebab terus menurunnya produksi migas selama dua dekade.
Karena UU ini mencabut UU Mgas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8 Tahun 1971 yang sudah sesuai dengan konstitusi dan terbukti berhasil membawa sektor migas menjadi sumber utama penerimaan APBN dan pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia sebesar 9,8 persen–ketika produksi migas dan harga minyak dunia tinggi.
Selain UU Migas No.22 Tahun 2001 inkonstitusional, karena belasan pasalnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hingga hari ini, UU Migas No.22 Tahun 2001 masih tetap dibiarkan berlaku. Padahal semua presiden RI ketika dilantik bersumpah untuk mentaati konstitusi UUD 1945 yang di dalamnya ada Pasal 33.
Sedangkan UU Minerba No.3 Tahun 2020 hingga hari ini menggunakan sistem konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK), yang merupakan sistem zaman kolonial, tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945 Pasal 33.
Dalam Forum Konferensi Guru Besar Indonesia ke IV di Makassar tahun 2012, saya telah paparkan penyebab hilangnya kedaulatan negara atas aset atau kekayaan SDA migas dan minerba. Penyebab pertama, hubungan dengan investor migas dan tambang dikembangkan atas dasar pola hubungan Business to Government (B to G). Pemerintah berkontrak dengan pihak investor (perusahaan asing/swasta).
Kedua, adanya penafsiran atas kata “dikuasai” negara dalam Pasal 33 UUD 1945 yang tidak diartikan sebagai “dimiliki negara”.
Ketiga, BUMN migas dan tambang terkait yang mestinya mewakili negara dalam memegang hak kepemilikan dan pengelolaan, statusnya justru disamakan dengan investor asing dan swasta.