160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

Keadaan Darurat-Bencana dan Mekanisme Penyaluran Beras Bulog

750 x 100 PASANG IKLAN

Pada prosedur lama, kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) mengajukan permohonan penggunaan CBP untuk menanggulangi keadaan darurat bencana kepada Perum Bulog kantor wilayah/kantor cabang. Dalam pengajuan itu disertai data jumlah korban, penetapan status keadaan darurat bencana, dan penugasan kepada kepala dinas sosial daerah untuk penyaluran. Baru kemudian Menteri Sosial meminta Bulog mengeluarkan CBP.

Bupati/wali kota memiliki hak mengeluarkan CBP 100 ton setahun. Sedangkan gubernur memiliki hak lebih besar: 200 ton setahun. Kalau kuota hak setahun ini masih kurang, kepala daerah bisa mengajukan tambahan penggunaan CBP. Selain darurat bencana, kepala daerah juga bisa menggunakan CBP untuk penanggulangan kerawanan pascabencana. Bupati/wali kota mengajukan ke gubernur, gubernur lalu meneruskan ke Menteri Sosial. Tentu disertai kebutuhan, jangka waktu, dan jumlah korban.

Pada prosedur yang baru, kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) dan menteri atau kepala lembaga mengajukan penyaluran CPP kepada Kepala Bapanas. Surat pengajuan dilampiri jumlah penerima, organisasi pemda yang menyalurkan, dan kesanggupan menanggung biaya distribusi. Juga dilampiri penetapan status keadaan darurat bencana sesuai kewenangan. Bapanas menganalisis baru kemudian menugaskan ke Bulog.

Selain Bulog, Bapanas juga bisa menugaskan BUMN Pangan lain. Sebelum menugaskan penyaluran CPP kepada Bulog/BUMN Pangan dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Bapanas No. 30/2023, Bapanas mesti mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Menteri BUMN. Baru kemudian Bulog (pusat) memerintahkan pimpinan kantor wilayah/kantor cabang menyalurkan. Dalam praktik, bisa saja, perintah Bapanas ke Bulog itu bersamaan dengan perintah Bulog pusat ke daerah.

750 x 100 PASANG IKLAN

Dalam praktik penanganan tsunami di Aceh pada Desember 2004 dan gempa di Yogyakarta pada Mei 2006, gubernur, bupati/wali kota meminta Bulog menyalurkan CBP pada saat terjadi bencana. Saat itu komputer macet dan aliran listrik mati, boro-boro mencari mesin ketik. Otoritas berwenang hanya menuliskan permintaan CBP ke Bulog di kardus mi instan. Yang penting, ada yang mencatat baik-baik. Setelah situasi memungkinkan, pemda dan Bulog menyusun laporan. Saat itulah kebutuhan administrasi dilengkapi.

Intinya, berkaca dari kejadian tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, taat prosedur tentu harus. Akan tetapi, kecepatan penanganan dengan menyesuaikan situasi lapangan harus jadi pilihan utama. Keterlambatan penyaluran bantuan, baik pangan, minuman maupun logistik lain, tidak saja bisa berujung penjarahan tapi juga mengancam keselamatan warga. Jangan sampai karena taat prosedur justru ada nyawa melayang.

Bencana dan keadaan darurat kali ini sebaiknya dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali mekanisme dan prosedur penggunaan dan penyaluran CPP. Mekanisme yang panjang dan prosedur yang kental nuansa birokratis harus dihindari, tentu dengan tetap mengedepankan aspek akuntabilitas. Tak ada salahnya mekanisme dan prosedur lama dipertimbangkan digunakan kembali dengan penyempurnaan di sana sini. (Penulis adalah Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, serta Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan AEPI)

750 x 100 PASANG IKLAN

Pages: 1 2Show All
750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !