Keenam, Tulus melanjutkan, komitmen dan janji berdaulat di bidang energi juga hal yang patut didorong, mengingat ketergantungan Indonesia terhadap minyak dan gas elpiji masih sangat tinggi. Padahal di sisi lain cadangan dan pasokan energi kita, baik fosil dan atau energi terbarukan masih melimpah, namun sayang tidak dieksplorasi dengan serius, misalnya gas alam, dan energi panas bumi, yang menduduki rating kedua terbesar di dunia. Dalam hal ini, akan lebih ideal jika Presiden Prabowo berani mengendalikan ekspor batubara, yang cenderung jor-joran.
“Ekspor yang jor-joran bisa berdampak terhadap krisis pasokan di masa mendatang, seperti pada kasus minyak bumi. Pada era 60-an Indonesia jaya dengan minyak bumi, oil boom, tetapi kemudian ujung-ujungnya kita menjadi pengimpor bahan bakar minyak sampai saat ini. Seharusnya ini menjadi pembelajaran penting untuk kebijakan ekspor energi, khususnya batubara dan gas alam cair,” urainya.
Dan ketujuh, pada konteks regulasi perlindungan konsumen, mendesak untuk mengakselerasi amandemen UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Proses pembahasan amandemen UU Perlindungan Konsumen sudah berjalan beberapa tahun belakangan, namun hingga pergantian anggota DPR, pembahasan itu belum tuntas. Amandemen UU Perlindungan Konsumen sangat mendesak, tersebab sudah berusia 24 tahun, sehingga banyak isu-isu perlindungan konsumen yang belum terakomodasi.
Tulus berharap, dari catatan-catatan yang disampaikan untuk Presiden Prabowo Subianto, dengan kabinet Merah Putih-nya, dari postur dan struktur kabinet yang gemoy ini, tidak bergerak lamban, tetapi justru sebaliknya, bergerak sigap, akurat dan komprehensif demi melindungi masyarakat Indonesia. (Syarif)