
Kementerian ESDM mencatat, saat ini ada empat smelter yang sudah beroperasi mengolah bijih bauksit di Indonesia, yakni PT Indonesia Chemical Alumina (ICA), PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (ekspansi), PT Bintan Alumina Indonesia.
Untuk lebih banyak menyerap bijih bauksit dari penambang hulu, pemerintah sedang mengupayakan penanambahan tujuh smelter. Hanya saja, dalam proses pembangunan tujuh smelter tersebut mengalami berbagai kendala, salah satunya faktor pembiayaan. Sehingga masih berjalan di tempat.
Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto mengatakan, potensi cadangan bijih bauksit Indonesia 1,3 miliar metrik ton, namun penyerapannya ke smelter sekitar 18 juta ton per tahun.
“Masih minimnya smelter ini memberikan dampak bagi para penambang bijih bauksit. Dengan kata lain, bauksitnya diproduksi, tapi tidak bisa dijual ke smelter. Kondisinya saat ini, kapasitas smelter yang ada tidak bisa menampung hasil produksi penambang bauksit. Sehingga, banyak penambang bauksit terpaksa menunda memproduksi bauksit,” kata Ronald kepada corebusiness.co.id.
Ronald mengungkap, para investor, khususnya PMA, saat ini mulai berhati-hati menanamkan investasi untuk membangun smelter di Indonesia.
“Saya kira perusahaan asing, khususnya dari China mulai berhati-hati. Tidak seperti dulu di awal-awal hilirisasi berjalan di Indonesia. Karena apa? Masalahnya kan dibuat oleh pemerintah kita sendiri. Dalam membuat ketetapan atau kepastian aturan-aturan bermain harus berjalan seiring. Tidak bisa tiba-tiba ada aturan baru di sektor industri pengolahan bijih bauksit,” ungkapnya.
Menurutnya, jumlah smelter harus dihitung berdasarkan rasio kapasitas produksi dari penambang bijih bauksit. Misalnya, produksi bijih bauksit 40 juta ton per tahun, mungkin dibutuhkan antara enam sampai tujuh smelter di Indonesia. Karena, muara di atasnya jangan sampai kebanyakan smelter untuk memproduksi alumina, tapi harus diimbangi supply bijih bauksit untuk diolah menjadi aluminium.