“Dukungan perbankan Indonesia terhadap pengembangan industri hilirisasi sejauh ini sudah terlihat. Namun, saya melihat masih ada ruang untuk peningkatan. Beberapa bank telah menyediakan skema pembiayaan khusus, termasuk kredit investasi dan modal kerja, yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha di sektor ini. Namun, akses terhadap pembiayaan tersebut masih sering terkendala, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang ingin masuk ke hilirisasi,” kata Anggawira ketika dihubungi corebusiness.co.id, Senin (18/11/2024).
Anggawira mengemukakan kendala utama bagi pengusaha nasional yang ingin mendapatkan pinjaman modal untuk membangun industri hilirisasi dari perbankan, yaitu masih tingginya suku bunga kredit dan persyaratan yang cukup ketat.
“Padahal, hilirisasi membutuhkan investasi jangka panjang dan risiko yang relatif lebih tinggi. Selain itu, literasi sektor perbankan terhadap potensi dan model bisnis hilirisasi juga perlu ditingkatkan, agar tercipta pemahaman yang lebih baik dalam menilai kelayakan proyek-proyek di sektor ini,” ungkapnya.
Lantaran kendala tersebut, Anggawira mendorong perbankan untuk lebih agresif menciptakan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan hilirisasi, seperti pembiayaan berbasis hasil (profit-sharing) atau pembiayaan dengan tenor yang lebih fleksibel.
“Kerja sama antara pemerintah, perbankan, dan sektor swasta juga penting untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi percepatan hilirisasi,” pungkasnya.
Hilirisasi Didominasi Pembiayaan Asing
Sebelumnya, Departemen Makroprudensial Bank Indonesia mengungkap berbagai tantangan perbankan nasional dalam melakukan pembiayaan hilirisasi. Pertama, masalah expertise. Proyek hilirisasi itu pada umumnya full teknologi dan tidak banyak perbankan di Indonesia yang mempunyai expertise untuk melakukan penilaian terhadap obyek hilirisasi.