
Selain itu, pada 17 April 2025, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, juga mengundang APNI dan FINI untuk membahas rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022, yang mengatur mekanisme penjualan dan perhitungan nilai mineral.
“Sebagai alternatif solusi yang konkret, APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel, ferronickel, dan nickel pig iron (NPI). Saat ini, formula HPM dinilai terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market (SMM), sehingga dalam dua tahun terakhir berpotensi menyebabkan kerugian nilai pasar hingga 6,3 miliar dolar Amerika,” urai Meidy.
APNI, masih disampaikan Meidy, mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi. Estimasi menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.
Kemudian, Meidy menyebutkan dampak positif dari revisi formula HPM meliputi:
Selain itu, APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor (CF) HPM untuk ferronickel yang kini tidak lagi relevan, serta penyesuaian satuan transaksi dari US$ per dry metric ton ke US$ per ton nikel murni atau US$ per nickel unit sesuai praktik pasar internasional.
Meidy menyatakan, usulan-usulan APNI tersebut sebagai komitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan.
APNI berharap pemerintah bersedia membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi kebijakan PP No. 19 Tahun 2025 dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif. (Rif)